Nilai - Nilai Pembentuk Hukum



Hukum ada pada setiap masyarakat manusia dimanapun juga di muka bumi ini. Bagaimanapun primitive dan bagaimanapun modernnya suatu masyarakat pasti memiliki hukum. Oleh karena itu, keberadaan hukum sifatnya universal, hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat, tapi sebenarnya memiliki hubungan yang timbal balik.
Dalam kehidupan bernegara, salah satu hal yang harus ditegakkan adalah suatu kehidupan hukum dalam masyarakat. Pandangan ini diyakini tidak saja disebabkan negeri ini menganut faham negara hukum, melainkan lebih melihat secara kritis kecenderungan yang akan terjadi dalam kehidupan bangsa Indonesia yang berkembang ke arah suatu masyarakat modern. Umumnya dan seringkali dipahami oleh masyarakat bahwa hukum adalah suatu perangkat aturan yang dibuat oleh negara dan mengikat warga negaranya dengan mekanisme keberadaan sanksi sebagai pemaksa untuk menegakkan hukumnya.
Mengenai pertanyaan apa itu hukum?, tampaknya suatu pertanyaan yang sangat mendasar dan sangat tergantung dari konsep pemikiran dari hukum itu sendiri, sehingga jawabannya juga akan terus berkembang sesuai dengan mazhab dan pendekatan tentang hukum itu sendiri. Yang perlu dipahami adalah tujuan hukum adalah terciptanya suatu kedamaian yang didasarkan pada keserasian antara ketertiban dengan ketentraman. Tujuan hukum ini tentunya akan tercapai apabila didukung oleh tugas hukum yakni keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum, sehingga akan menghasilkan suatu keadilan (Makarim, 2003 dalam Prasetyo dan Barkatullah, 2007).
Terbentuknya hukum menurut Soerjono Soekanto (1983) karena manusia sebagai mahluk yang senantiasa hidup bersama memerlukan perangkat patokan agar tidak terjadi pertentangan kepentingan. Patokan-patokan tersebut merupakan pedoman untuk berprilaku yang pantas yang sebenarya merupakan suatu pandangan menilai yang sekaligus merupakan suatu harapan. Patokan-patokan untuk berprilaku pantas tersebut, dikenal dengan norma atau kaidah. Norma atau kaidah itu juga dapat timbul dari pandangan-pandangan mengenai apa yang dianggap baik atau buruk yang lazimnya disebut nilai atau juga berasal dari suatu pola perilaku manusia yang telah mantap (ajeg). Norma atau kaidah tersebut selanjutnya mengatur diri pribadi dan kehidupan antar pribadi manusia. Norma atau kaidah yang mengatur pribadi dikenal dengan norma atau kaidah kepercayaan dan kesusilaan. Norma atau kaidah kepercayaan bertujuan agar manusia mempunyai kehidupan yang beriman, sedangkan norma atau kaidah kesusilaan bertujuan agar manusia mempunyai hati nurani yang bersih. Selanjutnya norma atau kaidah yang mengatur kehidupan antar pribadi manusia, khususnya mengenai bidang kesopanan dan hukum. Norma atau kaidah kesopanan bertujuan agar manusia mengalami kesenangan atau kenikmatan di dalam pergaulan hidup bersama dengan orang lain. Norma atau kaidah hukum bertujuan agar tercapai kedamaian di dalam kehidupan bersama, dimana kedamaian berarti suatu keserasian antara ketertiban dengan ketentraman, atau keserasian antara keterikatan dengan kebebasan. Itulah yang menjadi tujuan hukum, sehingga tugas hukum adalah tidak lain daripada mencapai suatu keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum.
Bertitik tolak dari tujuan pembentukan hukum diatas, maka hukum yang tertulis didalam teks-teks buku (law in the book) harus berlaku dalam mengatur kehidupan antar pribadi manusia melalui penegakan hukum (law in action) atau yang lebih dikenal dengan sebutan law enforcement. Pada saat inilah, pendapat Gustav Radbruch (1961) mengenai nilai-nilai dasar dari tujuan pembentukan hukum tersebut akan dapat dirasakan dan dikenali, yaitu pendekatan hukum untuk menegakan kepastian, kegunaan atau keadilan hukum. Telah dijelaskan diatas bahwa ketiga nilai tersebut mengandung potensi pertentangan yang sulit didamaikan, ketika salah satu nilai dikedepankan tentunya akan mengurangi intensitas dari nilai yang lain. Hukum sebagai sebuah penjelmaan kekuasaan negara atau produk keputusan politik, tidak akan terbebas dari intensitas fluktuasi nilai-nilai dasar pembentukan hukum itu sendiri. Keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum yang menghasilkan keadilan, hampir dapat dipastikan tergantung dari para aparat yang menegakkan hukum itu. Oleh karena itu ‘tangan-tangan hukum’ atau para penegak hukum idealnya adalah ‘manusia super’ yang tidak saja memiliki kekuatan otot dan otak akan tetapi lebih dari itu harus memiliki hati nurani atau O2H (otak, otot dan hati nurani, lihat Satjipto Raharjo, 2000).
PENEGAKAN HUKUM: membuat patuh atau takut?
Ada baiknya, perlu juga dipahami faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penegakan hukum. Soerjono Soekanto (1983) membedakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penegakan hukum antara lain (1) faktor hukumnya sendiri, (2) faktor penegak hukum yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum, (3) faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, (4) faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, dan (5) faktor kebudayaan, yaitu sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
Dari kelima faktor tersebut diatas, maka faktor penegak hukum memiliki peran yang sangat sentral dalam proses penegakan hukum dan dapat dijadikan salah satu ukuran untuk mengetahui bekerjanya hukum didalam masyarakat, mengukur tingkat kepatuhan masyarakat kepada hukum atau ‘tingkat ketakutan’ masyarakat kepada aparat penegak hukum. Oleh karena itu kuat atau lemahnya penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dapat dijadikan ukuran untuk menentukan ada atau tidak bekerjanya hukum di masyarakat. Ketika aparat penegak hukum melakukan operasi penegakan hukum, maka saat itu masyarakat mempersepsikan adanya hukum dan harus ditaati, namun sebaliknya ketika aparat penegak hukum tidak melakukan operasi penegakan hukum, maka seolah-olah hukum tidak ada dan boleh dilanggar. Dalam kondisi ini, masyarakat tersebut dapat dikatakan masih dalam taraf masyarakat yang ‘takut’ kepada aparat penegak hukum, dan belum dapat dikategorikan sebagai masyarakat yang ‘taat’ kepada hukum. 
Sebagai contoh, ketika seorang pengendara sepeda motor memutuskan untuk menggunakan helm atau tidak untuk berkendara di jalan raya. Apabila pengendara sepeda motor memutuskan menggunakan helm meskipun jarak yang ditempuhnya dekat dan diketahui tidak ada polisi lalulintas di sepanjang jalan yang dilalui, maka pengendara sepeda motor tersebut dikategorikan sebagai taat pada hukum. Namun, bila pengendara sepeda motor memutuskan tidak menggunakan helm, cukup dibawa saja dan akan digunakan ketika ada polisi lalulintas yang bertugas disepanjang jalan yang akan dilalui, maka pengendara sepeda motor tersebut dikategorikan sebagai takut pada aparat penegak hukum. Meskipun disadari oleh penggendara sepeda motor bahwa kewajiban menggunakan helm adalah untuk melindungi diri dari si pengendara itu sendiri, disamping diwajibkan oleh hukum, namun hal ini seringkali dilanggar dan ketika itu dapat diukur tingkat kepatuhan pada hukum atau ketakutan pada aparat penegak hukum.
Dengan demikian kenyataan diatas dapat digunakan sebagai salah satu hipotesis bahwa penegakan hukum yang konsisten diperlukan untuk membentuk masyarakat yang patuh kepada hukum, meskipun pada awalnya didahului dengan masyarakat yang takut kepada penegak hukum.
Disamping itu, faktor penegak hukum itu sendiri yaitu para petugas yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk menegakan hukum juga memiliki peran yang menentukan dalam menentukan bekerja atau tidaknya hukum di dalam masyarakat. Sebagai individu, penegak hukum tentunya memiliki latar belakang, kepentingan dan tuntutan kebutuhan dalam hidupnya. Kondisi ini yang seringkali menjadi pemicu terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam proses penegakan hukum. Beberapa faktor yang dapat diidenfikasi mempengarui individu penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya antara lain (1) faktor moralitas penegak hukum, (2) kesejahteraan dan motivasi, (3) pengawasan, (4) waktu masa jabatan, (5) faktor reward and punishment, dan (6) kemampuan intelektual.
Selanjutnya, fenomema yang menarik juga lahir dari tipelogi masyarakat perkotaan yang lebih mengutamakan pencari kemenangan ketimbang keadilan hukum. Sebagai pencari kemenangan, maka segala upaya akan dilakukan untuk mendapatkan kemenangan hukum dengan berbagai cara. Pada saat itu diperlukan penegak hukum yang konsisten dan memiliki komitmen pada organisasi dan keadilan, karena tipologi masyarakat pencari kemenangan merupakan problem bagi penegakan hukum, terutama bila aparat penegak hukum tidak memiliki integritas dan rentan disuap. Masyarakat pencari kemenangan akan memanfaatkan kekuasaan dan uang agar memperoleh kemenangan atau terhindar dari hukuman.   
***Diolah dari berbagai sumber.

Comments

Post a Comment