Hukum Perikatan

1.             PERIHAL PERIKATAN DAN SUMBER-SUMBERNYA
Perkataan "perikatan" (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan "perjanjian", sebab dalam perikatan diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal perkataan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming).
Adapun yang dimaksudkan dengan "perikatan" ialah: suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau "kreditur", sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau "debitur". Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan "prestasi", yang menurut undang-undang dapat berupa :
a.   menyerahkan suatu barang
b.   melakukan suatu perbuatan
c.   tidak melakukam suatu perbuatan.
Mengenai sumber-sumber perikatan, oleh undang-undang diterangkan, bahwa suatu perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari undang-undang. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang. Yang belakangan ini, dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperbolehkan dan yang lahir dari perbuatan yang berlawanan dengan hukum.
Apabila seorang berhutang tidak memenuhi kewajibannya, menurut bahasa hukum ia melakukan "wanprestasi" yang menyebabkan ia dapat digugat di depan hakim. Dalam hukum berlaku suatu asas, orang tidak boleh menjadi hakim sendiri. Seorang berpiutang yang menghendaki pelaksanaan suatu perjanjian dari seorang berhutang yang tidak memenuhi kewajibannya, harus meminta perantaraan Pengadilan.
Tetapi sering terjadi bahwa si berhutang sendiri dari semula sudah memberikan persetujuanya, kalau ia sampai lalai, si berpiutang berhak melaksanakan sendiri hak-haknya menurut perjanjian, dengan tak usah meminta perantaraan hakim. Ini telah kita lihat dalam hal pandrecht. Pelaksanaan yang dilakukan sendiri oleh seorang berpiutang dengan tidak melewati hakim, dinamakan "parate executie". Orang yang berhutang dengan memberikan tanggungan gadai sejak semula telah memberikan izin kalau ia lalai, barang tanggungan boleh dijual oleh si berpiutang untuk pelunasan hutang dengan hasil penjualan itu. Begitu juga halnya dengan seorang pemberi hypotheek dengan "beding van eigenmachtige verkoop".
Jadi pada umumnya, si berpiutang harus menempuh jalan menuntut si berhutang di depan Pengadilan. Jika prestasi yang dikehendaki itu berupa membayar sejumlah uang, memang si berpiutang sudah tertolong jika ia mendapat suatu putusan Pengadilan, karena ia dapat minta dijalankannya putusan itu dengan menyita dan melelang harta benda si berhutang.
Tetapi jika untuk prestasi yang dikehendaki itu diperlukan persetujuan atau bantuan pribadi dari si berhutang - yang enggan memberikan persetujuan atau bantuan itu - si berpiutang masih menghadapi kesulitan. Misalnya, dalam hal si berhutang harus memberikan hypotheek atau menyerahkan sebuah benda yang tak bergerak. Dalam hal ini sebagai diketahui harus ada suatu akte pemberian hypotheek atau suatu akte transport, yang dibuat di depan notaris, dengan bantuan si berhutang. Dalam hal pemberian hypotheek, kesulitan tersebut dapat di atasi, karena undang-undang mengizinkan pelaksanaan dengan pendaftaran putusan Pengadilan dalam daftar-daftar hypotheek (lihat pasal 1171 ayat 3 B.W.), tetapi ini merupakan suatu kekecualian. Mengenai penyerahan sebuah benda yang tak bergerak, kesulitan masih tetap ada selama tidak diadakan ketentuan seperti dalam hal pemberian hypotheek tersebut, dan selama para hakim masih memegang teguh pendirian bahwa persetujuan si berhutang (akte transport) tidak mungkin digantikan oleh suatu putusan hakim.
Cara melaksanakan suatu putusan, yang oleh hakim dikuasakan pada orang berpiutang untuk mewujudkan sendiri apa yang menjadi haknya, dinamakan "reele executie." Dalam B.W. sendiri cara pelaksanaan ini dibolehkan dalam hal-hal berikut :
a.               Dalam hal perjanjian-perjanjian yang bertujuan bahwa suatu pihak tidak akan melakukan suatu perbuatan, misalnya tidak akan membuat suatu pagar tembok yang lebih tinggi dari 3 meter, pihak yang lain dapat dikuasakan oleh hakim untuk membongkar sendiri apa yang telah diperbuat dengan melanggar perjanjian itu (lihat pasal 1240).
b.       Dalam hal perjanjian-perjanjian untuk membikin suatu barang (yang juga dapat dibuat oleh seorang lain, misalnya suatu garage), pihak yang berkepentingan dapat dikuasakan oleh hakim untuk membikin sendiri atau menyuruh orang lain membikinnya, atas biaya yang harus dipikul oleh si berhutang (lihat pasal 1241).
Jika prestasi berupa menyerahkan suatu barang tertentu atau melakukan suatu perbuatan yang sangat pribadi (membuat lukisan oleh seorang pelukis ternama), pada umumnya tidaklah mungkin untuk mewujudkan prestasi itu dengan tiada bantuan si berhutang, dan terpaksalah si berpiutang menerima suatu penggantian kerugian berupa uang.
Dalam B.W, ada tersebut suatu macam perikatan yang dinamakan "natuurlijke verbintenis". Secara tegas tidak diberikan suatu uraian tentang apa yang dimaksudkan dengan perikatan semacam itu. Satu-satunya pasal yang memakai perkataan tersebut, ialah pasal 1359 ayat 2, yang hanya menerangkan , bahwa terhadap "natuurlijke verbintenissen" yang secara suka rela dipenuhi (dibayar), tidaklah diperkenankan untuk meminta kembali apa yang telah dibayarkan itu. Dengan kata lain apa yang sudah dibayarkan tetap menjadi hak si berpiutang, karena pembayaran tersebut dianggap sah. Artinya tidak termasuk dalam golongan pembayaran yang tidak diwajibkan, seperti yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal 1359 tersebut.
Berhubung dengan tidak adanya suatu uraian yang tegas, timbullah pertanyaan tentang pengertian apakah yang harus diberikan pada perkataan natuurlijke verbintenis itu. Jawabnya, natuurlijke verbintenis ialah suatu perikatan yang berada di tengah-tengah antara perikatan moral atau kepatutan dan suatu perikatan hukum, atau boleh juga dikatakan, suatu perikatan hukum yang tidak sempurna. Suatu perikatan hukum yang sempurna selalu dapat ditagih dan dituntut pelaksanaannya di depan hakim. Tidak sedemikian halnya dengan suatu natuurlijke verbintenis, suatu hutang dianggap ada, tetapi hak untuk menuntut pembayaran tidak ada. Jadi tergantung pada si berhutang apakah ia hendak memenuhinya atau tidak. Apakah ia hendak menjadikannya suatu perikatan hukum biasa atau tidak. Apabila ia membayar hutang itu, seolah-olah ia mengangkat natuurlijke verbintenis itu ke dalam lingkungan hukum. Pada ketika perikatan itu dipenuhi, ia meningkat menjadi suatu perikatan hukum biasa, tetapi ketika itu juga hapus karena pembayaran.
Jika sudah terdapat kata sepakat, bahwa suatu natuurlijke verbintenis itu, adalah suatu perikatan hukum (hanya tidak sempurna), maka konsekuensinya, ia dapat dibikin sempurna Misalnya dengan jalan pembaharuan hutang (novatie) atau dengan mengadakan penanggungan hutang (borgtocht). Kecuali, jika undang-undang melarangnya, sebagaimana terdapat dalam pasal 1790 B.W. yang melarang untuk membaharui suatu hutang yang terjadi karena perjudian.
Bahwa perikatan-perikatan tersebut di bawah ini semuanya termasuk dalam golongan natuurlijke verbintenis, boleh dikatakan sudah menjadi suatu pendapat  umum :
a.                Hutang-hutang yang terjadi karena perjudian, oleh pasal 1788 tidak diizinkan untuk menuntut pembayaran.
b.                Pembayaran bunga dalam hal pinjaman uang yang tidak semata-mata diperjanjikan, jika si berhutang membayar bunga yang tidak diperjanjikan itu, ia tidak dapat memintanya kembali, kecuali jika apa yang telah dibayarnya itu melampaui bunga menurut undang-undang (6 prosen).
c.                 Sisa hutang seorang pailit, setelah dilakukan pembayaran menurut perdamaian (accord).
2.             MACAM-MACAM PERIKATAN
Bentuk perikatan yang paling sederhana, ialah suatu perikatan yang masing-masing pihak hanya ada satu orang dan satu prestasi yang seketika juga dapat ditagih pembayarannya. Di samping bentuk yang paling sederhana ini, terdapat beberapa macam perikatan lain sebagai berikut :
A.       PERIKATAN BERSYARAT (VOORWAARDELIJK)
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu itu timbul. Suatu perjanjian yang demikian itu, menggantungkan adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertangguhkan (opschortende voorwaarde). Suatu contoh, apabila sayaberjanji pada seseorang untuk membeli mobilnya kalau saya lulus dari ujian, di sini dapat dikatakan bahwa jual-beli itu hanya akan terjadi, kalau saya lulus dari ujian. Kedua, mungkin untuk memperjanjikan, bahwa suatu perikatan yang sudah akan berlaku, akan dibatalkan apabila kejadian yang belum tentu itu timbul. Di sini dikatakan, perikatan itu digantungkan pada suatu syarat pembatalan (ontbindende voorwaarde). Suatu contoh, misalnya suatu perjanjian : saya mengijinkan seorang mendiami rumah saya, dengan ketentuan bahwa perjanjian itu akan berakhir apabila secara mendadak, saya diperhentikan dari pekeriaan saya.
Oleh undang-undang ditetapkan, bahwa suatu perjanjian sejak semula sudah batal (nietig), jika ia mengandung suatu ikatan yang digantungkan pada suatu syarat yang mengharuskan suatu pihak untuk melakukan suatu perbuatan yang sama sekali tidak mungkin dilaksanakan atau yang bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan. Baiklah kiranya diperingatkan di sini, bahwa dalam hukum wans mengenai ini berlaku suatu ketentuan yang berlainan, yaitu suatu syarat yang demikian jika dicantumkan dalam suatu testament tidak mengakibatkan batalnya testament, tetapi hanya dianggap syarat yang demikian itu tidak ada, sehingga surat wasiat tersebut tetap berlaku dengan tidak mengandung syarat. Selanjutnya diterangkan, bahwa dalam tiap perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal-balik, kelalaian salah satu pihak (wanprestasi) selalu dianggap sebagai suatu syarat pembatalan yang dicantumkan dalam perjanjian (pasal 1266).
B.        PERIKATAN YANG DIGANTUNGKAN PADA SUATU KETETAPAN WAKTU (TIJDSBEPALING).
Perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya meninggalnya seseorang. Contoh-contoh suatu perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu, banyak sekali dalam praktek, seperti perjanjian perburuhan, suatu hutang wesel yang dapat ditagih suatu waktu setelahnya dipertunjukkan dan lain sebagainya.
C.        PERIKATAN YANG MEMBOLEHKAN MEMILIH (ALTERNATIEF).
Ini adalah suatu perikatan, di mana terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya, ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau uang satu juta rupiah.
D.        PERIKATAN TANGGUNG-MENANGGUNG (HOOFDEUJK ATAU SOUDAIR).
Suatu perikatan di mana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang sama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam yang belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek.
Beberapa orang yang bersama-sama menghadapi satu orang berpiutang atau penagih hutang, masing-masing dapat oituntut untuk membayar hutang itu
seluruhnya. Tetapi jika salah satu merabayar, maka pembayaran ini juga membebaskan semua teman-teman yang berhutang. Itulah yang dimaksudkan suatu perikatan tanggung-menanggung. Jadi, jika dua orang A dan B secara tanggung-menanggung berhutang Rp. 100.000,- kepada C, maka A dan B masing-masing dapat dituntut membayar Rp. 100.000,-.
Memang dari sudut si berpiutang, perikatan semacam ini telah diciptakan untuk menjamin piutangnya, karena jika satu orang tidak suka atau tidak mampu membayar hutangnya, ia selalu dapat meminta pembayaran dari yang lainnya.
Perikatan tanggung-menanggung, lazim diperjanjikan dalam suatu perjanjian. Bagaimana juga, perikatan semacam ini tidak boleh dianggap telah diadakan secara diam-diam, ia selalu harus diperjanjikan dengan tegas (uitdrukkelijk). Tetapi ada kalanya juga perikatan tanggung-menanggung itu ditetapkan oleh undang-undang, misalnya dalam B.W. mengenai beberapa orang bersama-sama meminjam satu barang, mengenai satu orang menerima penyuruhan (lastgeving) dari beberapa orang. Dalam W.V.K., mengenai suatu perseroan firma, di mana menurut undang-undang masing-masing pesero bertanggung jawab sepenuhnya untuk seluruh hutang firma, atau mengenai suatu wesel, di mana semua orang yang secara berturut-turut telah mengendosirnya, masing-masing menanggung pembayaran hutang wesel itu untuk seluruhnya, jika penagihan kepada si berhutang menemui kegagalan.
E.      PERIKATAN YANG DAPAT DIBAGI DAN YANG TIDAK DAPAT DIBAGI.
Suatu perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil ke muka, jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain. Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahliwarisnya.
Pada asasnya - jika tidak diperjanjikan lain - antara pihak-pihak yang semula suatu perikatan, tidak boleh dibagi-bagi, sebab si berpiutang selalu berhak menuntut pemenuhan perjanjian untuk sepenuhnya dan tidak usah ia menerima baik suatu pembayaran sebagian demi sebagian.
F.    PERIKATAN DENGAN PENETAPAN HUKUMAN (STRAFBEDING).
Untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam praktek banyak dipakai perjanjian di mana si berhutang dikenakan suatu hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya, dalam praktek banyak dipakai perjanjian di mana si berhutang dikenakan suatu hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu.
Hakim mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman, apabila perjanjian telah sebahagian dipenuhi.
3.        SYARAT-SYARAT UNTUK SAHNYA PERJANJIAN
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
a.              sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
b.              kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
c.               suatu hal tertentu.
d.              suatu sebab yang halal.
Demikianlah menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyeknya dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Dengan "sepakat" atau juga dinamakan "perizinan" dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, "setuju" atau "seia-sekata" mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh fihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara bertimbal-balik : si penjual mengingini sejumlah uang, sedang si pembeli mengingini barangnya si penjual.
Orang yang membuat suatu perjanjian harus "cakap" menurut hukum. Pada azasnya, setiap "orang yang sudah dewasa" atau "akilbalig" dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian:
a.              Orang-orang yang belum dewasa
b.              Mereka yang ditaruh di bawah pengampunan
c.               Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Dari sudut rasa keadilan, orang yang membuat suatu perjanjian nantinya akan "terikat" oleh perjanjian itu dan mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung-jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, oleh karena seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, orang tersebut harus seorang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas dengan harta kekayaannya.
Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung-jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian. Orang yang ditaruh di bawah pengampunan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. la berada di bawah pengawasan pengampunnya. Kedudukannya adalah sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang anak belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang dewasa yang telah ditaruh di bawah pengampunan harus diwakili oleh pengampun atau kuratornya.
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian.memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya (pasal 108 Kitab Undang-undang Hukum Perdata).
Untuk perjanjian-perjanjian mengenai soal-soal kecil yang dapat dimasukkan dalam pengertian "keperluan mmah-tangga" maka dianggaplah si istri itu telah dikuasakan oleh suaminya. Dengan demikian maka seorang istri dimasukkan dalam golongan orang-orang yang tidak cakap membuat suatu perjanjian. Perbedaanya dengan seorang anak belum dewasa ialah bahwa seorang anak harus diwakili oleh orang tua/wali, sedangkan seorang istri harus "dibantu" oleh sang suami. Kalau seorang dalam membuat suatu perjanjian "diwakili" oleh orang lain, maka ia tidak membikin perjanjian itu sendiri, tetapi yang tampil ke muka wakilnya. Tetapi kalau seorang "dibantu", ini berarti bahwa ia bertindak sendiri, hanyalah ia didampingi oleh orang lain yang membantunya itu. Bantuan tersebut dapat diganti dengan surat kuasa atau izin tertulis ketidak-cakapan seorang perempuan yang bersuami dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada berhubungan dengan sistem yang dianut dalam Hukum Perdata Barat (Negeri Belanda) yang menyerahkan kepemimpinan dalam keluarga itu kepada sang suami. Kekuasaan suami sebagai pemimpin keluarga inilah dinamakan "maritale macht" (berasal dari perkataan Perancis "mari" yang berarti suami). Oleh karena ketentuan tentang ketidak-cakapan seorang perempuan yang bersuami itu di Negeri Belanda sendiri sudah dicabut karena dianggap tidak sesuai lagi dengan kemajuan jaman, maka sebaiknya ketentuan tersebut di Indonesia juga dihapuskan. Dan memang, dalam praktek para notaris sekarang sudah mulai mengijinkan seorang istri, yang tunduk kepada Hukum Perdata Barat, membuat suatu perjanjian di hadapannya, tanpa bantuan suaminya. Juga dari surat edaran Mahkamah Agung No. 3/1963 tanggal 4 Agustus 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia ternyata, bahwa Mahkamah Agung menganggap pasal-pasal 108 dan 110 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka Pengadilan tanpa ijin atau bantuan dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi.
Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada di tangannya siberhutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Misalnya suatu perjanjian mengenai "panen tembakau dari suatu ladang dalam tahun yang akan datang" adalah sah, tetapi suatu perjanjian jual-beli "teh untuk Rp. 100" dengan tidak memakai penjelasan lebih terang lagi harus dianggap tidak cukup jelas.
Akhirnya oleh pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut di atas, ditetapkan sebagai syarat keempat untuk suatu perjanjian yang sah adanya suatu "sebab yang halal". Dengan "sebab" (bahasa Belanda "oorzaak", bahasa Latin "causa") ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian. Dengan segera harus dihilangkan suatu kemungkinan salah sangka, bahwa "sebab" itu adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang termaksud. Bukan itulah yang oleh undang-undang dimaksudkan dengan "sebab" yang halal. Sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat suatu perjanjian atau dorongan jiwa untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak diperdulikan oleh undang-undang. Hukum pada asasnya tidak menghiraukan apa yang berada dalam gagasan seseorang atas apa yang dicita-citakan seorang. Yang diperhatikan oleh hukum atau undang-undang hanyalah tindakan-tindakan orang-orang dalam masyarakat. Misalnya, saya membeli rumah karena saya mempunyai simpanan uang dan saya takut bahwa dalam waktu singkat akan ada suatu tindakan moneter dari pemenntah atau bahwa nilai uang akan terus menurun. Atau menjual mobil saya, karena harga alat-alat mobil sudah sangat mahal. Gagasan, cita-cita, perhitungan yang menjadi dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tadi bagi undang-undang tidak penting.
Jadi, yang dimaksudkan dengan "sebab" atau "causa" suatu perjanjian adalah isi dari pada perjanjian itu sendiri. Dalam suatu perjanjian jual-beli isi tadi adalah : Pihak satu menghendaki uang. Dalam perjanjian sewa-menyewa : suatu pihak mengingini kenikmatan sesuatu barang, pihak lain menghendaki uang. Dengan demikian, maka kalau seseorang membeli pisau di toko dengan maksud untuk membunuh orang dengan pisau tadi, jual-beli pisau tersebut mempunyai suatu sebab atau causa yang halal seperti jual-beli barang-barang lain. Lain halnya, apabila soal membunuh itu dimaksudkan dalam perjanjian misalnya, si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si pembeli membunuh seseorang. Isi perjanjian yang sekarang menjadi sesuatu hal yang terlarang.
Diperbedakan antara syarat subyektif dan syarat obyektif. Dalam halnya suatu syarat obyektif, maka kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu adalah "batal demi hukum". Artinya : dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut, yaitu melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian maka tiada dasar untuk saling menuntut di muka hakim. Dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu "null and void".
Dalam hal suatu syarat subyektif maka jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetap salah satu pihak mempunyai hak utuk meminta agar perjanjian itu digagalkan. Pihak yang minta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberi sepakatnya (perijinannya) secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu mengikat juga, selama tidak dibatalkan (oleh Hakim ) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Dengan demikian maka nasib sesuatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk mentaatinya. Perjanjian yang demikian di namakan "voidable" (bahasa Inggris) atau "vernietigbaal" (bahasa Belanda). la selalu diancam dengan bahaya pembatalan ("cancelling"). Yang dapat meminta pembatalan adalah, dalam halnya seorang anak yang belum dewasa, anak itu sendiri apabila ia sudah dewasa atau orang tua / walinya. Dalam halnya seorang yang berada di bawah pengampunan, pengampunnya. Dalam halnya seorang yang telah memberikan sepakat atau perijinannya secara tidak bebas, orang itu sendiri. Bahaya pembatalan itu mengancam selama 5 tahun (pasal 1454 KUHPerd), jadi dibatasi juga oleh undang-undang. Memang, segala sesuatu yang tidak tentu itu selalu dibatasi oleh undang-undang, demi untuk keamanan atau ketertiban hukum.
Bahaya pembatalan yang mengancam itu dapat dihilangkan dengan penguatan ("affirmation") oleh orang tua, wali atau pengampu tersebut. Penguatan yang demikian itu dapat terjadi secara tegas, misalnya orang tua, wali atau pengampu itu menyatakan dengan tegas mengakui atau akan mentaati perjanjian yang telah diadakan oleh anak yang belum dewasa ataupun dapat terjadi secara diam-diam, misalnya orang tua, wali atau pengampu itu membayar atau memenuhi perjanjian yang telah diadakan oleh anak muda itu. Ataupun, orang yang dalam suatu perjanjian telah memberikan sepakatnya secara tidak bebas, dapat pula menguatkan perjanjian yang dibuatnya, baik secara tegas maupun secara diam-diam.
4.                            PEMBATALAN SUATU PERJANJIAN
Dalam syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah diterangkan bahwa, apabila suatu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum (null and void). Dalam hal yang demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di muka hakim, karena dasar-hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan, karena jabatannya, menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.
Apabila, pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subyektif, maka sebagaimana sudah kita lihat, perjanjian itu bukannya batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalannya (cancelling) oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah : pihak yang tidak cakap menurut hukum (yang meminta : orangtua atau wali nya, ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap), dan pihak yang memberikan perijinan atau menyetujui itu secara tidak bebas.
Tentang perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal yang tertentu dapat dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak. Keadaan tersebut dapat seketika dilihat oleh hakim. Tentang perjanjian yang isinya tidak halal, teranglah bahwa perjanjian yang demikian itu tidak boleh dilaksanakan karena melanggar hukum atau kesusilaan. Hal yang demikian juga seketika dapat diketahui oleh hakim. Dari sudut keamanan dan ketertiban jelaslah bahwa perjanjian-perjanjian seperti itu harus dicegah.
Tentang perjanjian yang ada kekurangannya mengenai syarat-syarat subyektifnya yang tersinggung adalah kepentingan seseorang, yang mungkin tidak mengingini perlindungan hukum terhadap dirinya, Misalnya, seorang yang oleh Undang-Undang dipandang sebagai tidak cakap, mungkin sekali sanggup memikul tanggung-jawab sepenuhnya terhadap perjanjian yang telah dibuatnya. Atau, seorang yang telah memberikan persetujuannya karena khilaf atau tertipu, mungkin sekali segan atau malu meminta perlindungan hukum. Juga adanya kekurangan mengenai syarat subyektif itu tidak begitu saja dapat diketahui oleh hakim jadi harus dimajukan oleh pihak yang berkepentingan, dan apabila dimajukan pada hakim, mungkin sekali disangkal oleh pihak lawan, sehingga memerlukan pembuktian.
Oleh karena itu maka dalam halnya ada kekurangan mengenai syarat subyektif, oleh Undang-Undang diserahkan pada pihak yang berkepentingan apakah ia menghendaki pembatalan perjanjiannya atau tidak. Jadi, perjanjian yang demikian itu, bukannya batal demi hukum, tapi dapat dimintakan pembaialan.
Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan sepakat itu harus diberikan secara bebas. Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perijinan tadi tidak bebas, yaitu : paksaan, kekhilafan dan penipuan. Yang dimaksud dengan pemaksaan adalah pemaksaan rohani atau jiwa (psikis), jadi bukan paksaan badan atau phisik. Misalnya salah satu pihak karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian. Jadi kalau, seorang dipegang tangannya dan tangan itu dipaksa menulis tanda tangan di bawah surat perjanjian, maka itu bukanlah paksaan dalam arti yang dibicarakan, yaitu sebagai salah satu alasan untuk meminta pembatalan perjanjian yang telah dibuat itu. Orang yang dipegang tangannya secara paksaan ini tidak memberikan persetujuannya sedangkan yang dipersoalkan disini adalah orang yang memberikan persetujuan (perijinan), tetapi secara tidak bebas, sepertinya seorang yang memberikan persetujuannya karena ia takut terhadap suatu ancaman misalnya akan dianiaya atau akan dibuka suatu rahasia kalau ia tidak menyetujui suatu perjanjian. Yang diancam itu harus suatu perbuatan yang terlarang, kalau yang diancam itu suatu tindakan yang memang diijinkan oleh undang-undang misalnya ancaman akan digugat di muka hakim, akan tidak dapat dikatakan tentang suatu paksaan. Adalah dianggap sebagai sebagai mungkin, bahwa paksaan itu dilakukan oleh seorang ketiga. Lain halnya dengan penipuan yang hanya dapat dilakukan oleh pihak lawan.
Kekhilafan atau Kekeliruan terjadi, apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa, hingga, seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya. Kekhilafan mengenai barang terjadi misalnya jikalau orang membeli sebuah lukisan yang dikiranya dari Basuki Abdullah dan kemudian ternyata hanya turunan saja. Kekhilafannya mengenai orang terjadi misalnya jika seorang Direktur Opera mengadakan suatu kontrak dengan orang yang dikiranya seorang penyanyi yang tersohor, padahal bukan orang yang dimaksudkan, hanyalah namanya saja yang kebetulan sama. Kekhilafan yang demikian itu juga merupakan alasan bagi orang yang khilaf itu untuk meminta pembatalan perjanjiannya. Adapun kekhilafan itu harus diketahui oleh lawan, atau paling tidak sedikit harus sedemikian rupa bahwa pihak lawan itu sepatutnya harus mengetahui bahwa ia berhadapan dengan seorang yang berada dalam kekhilafan. Kalau pihak lawan itu tidak tahu ataupun tidak dapat mengetahui bahwa ia berhadapan dengan orang khilaf, maka adalah tidak adil untuk membatalkan perjanjiannya. Orang yang menjual lukisan yang disebutkan di atas harus mengetahui bahwa lukisan itu adalah buah tangan asli dari Basuki Abdullah dan ia membiarkan pembeli itu dalam kekhilafannya. Begitu pula penyanyi yang disebut di atas harus mengetahui bahwa direktur opera itu secara khilaf mengira mengadakan kontrak dengan penyanyi yang tersohor yang namanya sama.
Penipuan terjadi, apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan akal-akalan yang cerdik (tipu-muslihat), untuk membujuk pihak lawannya memberikan, perijinannya. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Misalnya mobil yang ditawarkan diganti dulu merknya, nomor mesinnya dipalsu dan lain sebagainya. Menumt yurispmdensi maka tak cukuplah kalau orang itu hanya melakukan kebohongan mengenai sesuatu hal saja, paling sedikit harus ada suatu "rangkaian kebohongan " atau suatu perbuatan yang dinamakan "tipu-muslihat", seperti yang dilakukan oleh si penjual mobil tersebut di atas.
Dengan demikian maka ketidak-cakapan seorang dan ketidak-bebasan dalam memberikan perijinan dalam suatu perjanjian, memberikan hak kepada pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak bebas dalam memberikan sepakatnya itu untuk meminta pembatalan perjanjiannya. Dengan sendirinya harus dimengerti bahwa pihak lawan dari orang-orang tersebut tidak boleh minta pembatalan itu. Hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak saja, yaitu pihak yang oleh undang-undang diberi perlindungan itu. Memintanya pembatalan itu oleh pasal 1454 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dibatasi sampai suatu batas waktu tertentu yaitu 5 tahun, waktu mana mulai berlaku : dalam halnya ketidak-cakapan suatu pihak, sejak orang ini menjadi cakap menumt hukum, dalam halnya paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti. Dalam halnya kekhilafan atau penipuan sejak hari diketahuinya kekhilafan atau penipuan itu. Pembatasan waktu tersebut tidak berlaku terhadap kebatalan yang dimajukan selaku pembelaan atau tangkisan, yang mana selalu dapat dikemukakan. Memang ada dua cara untuk meminta pembatalan perjanjian itu. Pertama, pihak yang berkepentingan dapat secara aktif yaitu sebagai penggugat meminta kepada hakim supaya perjanjian itu dibatalkan. Cara yang kedua ialah menunggu sampai ia digugat di muka hakim untuk memenuhi perjanjian tersebut. Di muka sidang Pengadilan itu lalu ia sebagai tergugat mengemukakan bahwa perjanjian tersebut telah disetujuinya ketika ia masih belum cakap, ataupun disetujuinya karena ia diancam, atau karena ia khilaf mengenai obyeknya perjanjian atau karena ia ditipu. Dan di muka sidang pengadilan itu ia mohon kepada hakim supaya perjanjian dibatalkan. Meminta pembatalan secara pembelaan inilah yang tidak dibatasi waktunya.
Terhadap azas konsensualitas yang dikandung oleh pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ada kekecualiannya, yaitu di sana-sini oleh Undang-Undang ditetapkan suatu formalitas untuk beberapa macam perjanjian, misalnya : perjanjian penghibahan benda tak bergerak haras dilakukan dengan akte notaris, perjanjian perdamaian harus dibuat secara tertulis dan lain sebagainya. Perjanjian-perjanjian untuk mana ditetapkan sesuatu formalitas atau bentuk cara tertentu itu sebagaimana sudah kita lihat, dinamakan perjanjian formil. Apabila perjanjian yang demikian itu tidak memenuhi formalitas yang ditetapkan oleh Undang-undang, maka ia adalah batal demi hukum.
5.             SAAT DAN LAHIRNYA PERJANJIAN
Menurut azas konsensualitas, suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lainnya, meskipun tidak sejurusan tetapi secara bertimbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.
Dengan demikian maka untuk mengetahui apakah telah dilahirkan suatu perjanjian dan bilamanakah perjanjian itu dilahirkan, harus dipastikan apakah telah tercapai sepakat tersebut dan bilamana tercapainya sepakat itu.
Menurut ajaran yang paling tua, harus dipegang teguh tentang adanya suatu persesuain kehendak antara kedua belah pihak. Apabila kedua kehendak itu berselisih, tak dapatlah dilahirkan suatu perjanjian. Dalam suatu masyarakat kecil dan sederhana, dimana kedua belah pihak itu berjumpa atau hadir sendiri dan pembicaraan diadakan secara lisan, ukuran tersebut masih dapat dipakai, tetapi dalam suatu masyarakat yang sudah ramai dan modern, ukuran tersebut tak dapat dipertahankan lagi. Sejak orang memakai surat menyurat dan telegram (kawat) dalam menyelenggarakan urusan-urusannya, maka ukuran dan syarat bahwa untuk tercapainya suatu perjanjian diharuskan adanya persesuaian kehendak, terpaksa ditinggalkan. Sebab, sudah sering terjadi, bahwa apa yang ditulis dalam surat, atau yang diberitahukan lewat telegram, karena sesuatu kesalahan, berlainan atau berbeda dari apa yang dikehendaki oleh orang yang menggunakan surat menyurat atau telegram tadi. Berhubungan dengan kesulitan-kesulitan yang timbul itu, orang mulai mengalihkan perhatiannya pada apa yang dinyatakan. Yang terpenting bukan lagi kehendak, tetapi apa yang dinyatakan oleh seorang, sebab pernyataan inilah yang dapat dipakai sebagai pegangan untuk orang lain. Jadi, apabila ada suatu perselisihan antara apa yang dinyatakan oleh suatu pihak, maka pernyataan itulah yang menentukan. Sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian dianggap telah tercapai apabila pernyataan yang dikeluarkan oleh suatu pihak diterima oleh pihak lain. Dalam menerima atau menangkap suatu pernyataan diperlukan suatu pengetahuan tentang istilah-istilah yang lazim dipakai dalam sesuatu kalangan, di suatu tempat dan pada suatu waktu tertentu. Suatu contoh: kalau sekarang (dalam tahun 1963) seorang menawarkan mobilnya dengan menyebut harga "satu setengah'" maka setiap orang harus mengerti bahwa yang dimaksudkan itu adalah satu setengah juta dan bukannya satu setengah ribu. Suatu pernyataan yang dikeluarkan (diucapkan) secara bersenda gurau tidak boleh dipegang untuk dijadikan dasar bagi suatu perjanjian. Lagi pula, apabila suatu pernyataan nyata-nyata atau mungkin sekali keliru, juga tidak boleh kita memegangnya bagi pembentukan suatu sepakat yang kita jadikan sebagai dasar bagi suatau perjanjian yang mengikat. Misalnya, si pemilik mobil tersebut di atas memasang suatu iklan dan disitu secara keliru ditulisakn satu setengah ribu (yang dimaksudkan satu setengah juta). Setiap orang yang berpikiran sehat harus mengerti bahwa dalam iklan tersebut tentu ada suatu kekeliruan atau orang yang memasang iklan tersebut adalah orang yang tidak sehat pikirannya. Bagaimanapun, pernyataan yang dipasang dalam iklan tadi menimbulkan kesangsian tentang kebenarannya. Teranglah bahwa kita tidak boleh menerima penawaran tersebut dan berdasarkan jual beli yang telah tercipta menuntut penyerahan mobil tersebut dengan pembayaran harga yang ditulis dalam iklan itu. Tetapi, seandainya ditulis satu seperempat juta, maka iklan tadi tidak akan menimbulkan kesangsian. Mungkin para pembaca iklan menganggap harga itu agak murah, tetapi belum termasuk hal yang aneh.
Sebagai kesimpulan dapat ditetapkan suatu norma, bahwa yang dapat dipakai sebagai pedoman ialah pernyataan yang sepatutnya dapat dianggap melahirkan maksud dari orang yang hendak mengikatkan dirinya.
Terkenal adalah suatu perkara yang pernah dimajukan di muka hakim di Jerman Barat (Koln) pada tahun 1856, di mana duduknya perkara adalah sebagai berikut : sebuah Firma Oppenheim & Co telah mengirim kawat kepada seorang komisioner dalam urusan-urusan surat-surat Sero bernama Weiler, untuk membeli sejumlah sural sero. Dalam pengiriman kawat terselip suatu kekeliruan, sehingga Weiler menerima sural kawat yang berbunyi menyuruh menjual sejumlah sural sero tersebut. Weiler memenuhi perintah tersebut. Ketika ia menuntut pemenuhan dari Oppenheim tentang apa yang diperintahkan dalam surat kawat tersebut, temyatalah adanya kesalahan tadi. Oppenheim menuntut juga supaya transaksinya dipenuhi. Dalam pada itu kurs dari surat-surat sero tadi sudah demikian meningkatnya hingga penyerahan surat-surat sero itu kepada Oppenheim berarti suatu kerugian yang tidak sedikit bagi pihak Weiler. Pihak Weiler ini berpendirian bahwa dari isinya surat kawat tadi ia tidak dapat mengetahui adanya kesalahan tersebut dan karenanya telah terjadi suatu perintah kepadanya untuk menjual surat-surat sero. Pengadilan (yang menganut ajaran tentang "persesuaian kehendak") memutuskan bahwa tidak ada terjadi suatu perintah untuk menjual karena suatu pihak bermaksud menyuruh membeli sedangkan pihak yang lain mengira menerima suatu perintah untuk menjual. Namun demikian, Pengadilan membebankan suatu ganti-rugi kepada pihak Oppenheim, karena dialah yang telah mempergunakan suatu alat penghubung yang begitu tidak pasti. Akibat-akibat penggunaan alat penghubung yang tidak pasti itu dipikulkan kepada Oppenheim. Menurut ukuran yang telah kita simpulkan di atas, yang boleh dikatakan sekarang ini lazim dipakai, adalah seadilnya jika dianggap bahwa telah dilahirkan suatu perjanjian antara Weiler dan Oppenheim, karena penawaran yang telah diterima oleh Weiler dalam surat kawat itu tidak menimbulkan dugaan tentang adanya kekeliruan.
Karena suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat, maka perjanjian itu lahir pada detik diterimanya suatu penawaran (offerte). Apabila seorang melakukan suatu penawaran (offerte), dan penawaran itu diterima oleh orang lain secara tertulis, artinya orang lain ini menulis surat bahwa ia menerima penawaran itu, pada detik manakah lahirnya perjanjian itu. Apakah pada detik dikirimnya surat ataukah pada detik diterimanya surat itu oleh pihak yang melakukan penawaran ?
Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap dilahirkan pada saat dimana pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya sepakat. Bahwasanya mungkin ia tidak membaca surat-surat yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Karena perjanjian sudah dilahirkan maka tak dapat lagi ia ditarik kembali jika tidak seizin pihak lawan. Saat atau detik lahirnya suatu perjanjian adalah penting untuk diketahui dan ditetapkan, berhubung ada kalanya terjadi suatu perobahan Undang-undang atau peraturan, yang mempengaruhi nasibnya perjanjian tersebut, misalnya pelaksanaannya. Ataupun perlu untuk menetapkan beralihnya "resiko" dalam jual-beli.
Juga tempat tinggal (domisili) pihak yang mengadakan penawaran (offerte) itu berlaku sebagai tempat lahirnya atau ditutupnya perjanjian. Tempat inipun penting untuk menetapkan hukum manakah yang akan berlaku, yaitu apabila kedua belah pihak berada di tempat yang berlainan di dalam negeri untuk menetapkan bertempat tinggal di negara yang berlainan ataupun, apabila mereka adat kebiasaan dari tempat atau daerah manakah yang akan berlaku.
6.             PELAKSANAAN SUATU PERJANJIAN
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Menilik macam-macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan itu, perjanjian-perjanjian dibagi dalam tiga macam, yaitu :
a.                  perjanjian untuk memberikan menyerahkan suatu barang.
b.                  perjanjian untuk berbuat sesuatu.
c.                   perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.
Hal yang harus dilaksanakan itu dinamakan "prestasi".
Perjanjian dari macam pertama adalah misalnya : jual-beli, tukar-menukar, menghibahkan atau pemberian, sewa-menyewa, pinjam-pakai. Perjanjian dari macam kedua : perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan, perjanjian untuk membuat garansi, dan lainnya. Perjanjian dari macam yang ketiga adalah misalnya : perjanjian untuk tidak mendirikan tembok, perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan orang lain dan sebagainya.
Suatu persoalan dalam Hukum Perjanjian ialah persoalan, apakah, jika si berhutang atau si debitur tidak menepati janjinya, si berpiutang atau kreditur dapat mewujudkan sendiri prestasi yang dijanjikan itu artinya apakah si berpiutang dapat dikuasakan oleh hakim untuk mewujudkan atau merealisasikan sendiri apa yang menjadi haknya menurut perjanjian. Jika yang demikian itu mungkin, maka dikatakan bahwa perjanjian tadi dapat dieksekusikan secara riil. Meskipun selalu ada kemungkinan untuk mendapat suatu ganti rugi tetapi apabila seorang mendapat yang dijanjikan maka itu adalah yang paling memuaskan. Suatu ganti rugi seolah-olah hanyalah suatu "pengarem-arem "saja. Maka dari itu juga apa yang dijanjikan itu dinamakan "prestasi primair", sedangkan ganti rugi dinamakan "prestasi subsidair". Barang yang subsidair adalah barang yang menjadi ganti rugi suatu barang lain yang lebih berharga !
Kitab Undang-undang Hukum Perdata memberikan sekedar petunjuk dalam penjawaban persoalan tersebut di atas ialah persoalan apakah suatu perjanjian mungkin dieksekusi (dilaksanakan) secara nil itu. Petunjuk itu kita dapatkan dalam pasal-pasal 1240 dan 1241. Pasal-pasal ini adalah mengenai perjanjian-perjanjian yang di atas kita sebutkan sebagai tergolong dalam macam kedua dan macam ketiga, yaitu perjanjian perjanjian untuk berbuat sesuatu (melakukan suatu perbuatan) dan perjanjian-perjanjian untuk tidak melakukan sesuatu (tidak melakukan suatu perbuatan). Mengenai perjanjian-perjanjian macam inilah disebutkan bahwa eksekusi riil itu mungkin dilaksanakan. Pasal 1240 menyebutkan tentang perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu bahwa si berpiutang atau kreditur adalah berhak menuntut penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perjanjian dan bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat tadi atas biaya si berhutang, dengan tidak mengurangi haknya untuk menuntut ganti rugi jika ada alasan untuk itu. Dan pasal 1241 menerangkan tentang perjanjian untuk melakukan sesuatu, bahwa apabila perjanjian tidak dilaksanakan artinya si berhutang tidak menepati janjinya, maka si berpiutang boleh juga dikuasakan supaya dia sendirilah yang mengusahakan pelaksanaannya atas biaya si berhutang. Mengenai perjanjian untuk tidak melakukan suatu perbuatan, memang dalam perjanjian semacam itu, bila dilanggar, dapat secara mudah hasil dari perbuatan yang melanggar perjanjian itu dihapuskan atau ditiadakan. Tembok yang didirikan secara melanggar perjanjian, dapat dirobohkan, perusahaan yang dibuka atau didirikan melanggar perjanjian, dapat ditutup. Pihak yang berkepentingan (kreditur) tentunya juga dapat meminta kepada Pengadilan, supaya ditetapkan sejumlah "uang paksa" untuk mendorong si debitur supaya ia meniadakan lagi apa yang sudah diperbuat itu. Dan juga ia dapat meminta supaya orang yang melanggar perjanjian itu dihukum untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti-rugi, tetapi sudah barang tentu tiada sesuatu yang lebih memuaskan baginya dari pada penghukuman si pelanggar perjanjian itu untuk meniadakan segala apa yang telah diperbuat itu.
Perjanjian untuk berbuat sesuatu (melakukan suatu perbuatan) juga secara mudah dapat dijalankan secara riil, asal saja bagi si berpiutang (kreditur) tidak penting oleh siapa perbuatan itu akan dilakukan, misalnya membuat sebuah garasi, yang dengan mudah dapat dilakukan oleh orang lain. Kalau yang harus dibuat itu sebuah lukisan, sudah barang tentu perbuatan itu tidak dapat dilakukan oleh- orang lain selainnya pelukis yang menjanjikan membuat lukisan itu. Karena itu raaka perjanjian untuk melakukan suatu perbuatan yang bersifat sangat pribadi, tidak dapat dilaksanakan secara riil, apabila pihak yang menyanggupi melakukan perbuatan tersebut tidak menetapi janjinya.
Mengenai perjanjian dari macam yang pertama, yaitu perjanjian untuk memberikan (menyerahkan) suatu barang, tidak terdapat sesuatu petunjuk dalam undang-undang.
Mengenai barang yang tak tertentu (artinya barang yang sudah disetujui atau dipilih), dapat dikatakan bahwa para ahli hukum yurisprudensi adalah sependapat bahwa eksekusi riil itu dapat dilakukan, misalnya jual-beli. Suatu barang bergerak yang tertentu, jika mengenai barang yang tak tertentu maka eksekusi riil tak mungkin dilakukan.
Mengenai barang tak bergerak ada dua pendapat. Yurisprudensi pada waktu sekarang dapat dikatakan masih menganut pendirian bahwa eksekusi riil tidak mungkin dilakukan. Pendirian itu didasarkan pada dua alasan. Pertama : untuk menyerahkan hak milik atas suatu benda tak bergerak diperlukan suatu akte trans­port yang merupakan suatu akte bilateral, yang haras diselenggarakan oleh dua pihak dan karena itu tidak mungkin diganti dengan suatu fonis atau putusan hakim. Kedua : ada alasan a contrario, yaitu dalam pasal 1171 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditetapkan (mengenai hipotik), bahwa, barang siapa yang berdasarkan undang-undang atau perjanjian diwajibkan memberikan hipotek, dapat dipaksa untuk itu dengan putusan hakim yang mempunyai kekuatan yang sama seolah-olah ia telah memberikan persetujuannya untuk hipotek itu, dan yang dengan terang akan menunjuk benda-benda atas mana akan dilakukan pembukuan. Dikatakan, bahwa oleh karena untuk hipotek ada peraturan yang memungkinkan eksekusi riil terhadap seorang yang wajib memberikan hipotek tetapi bercindra-janji, sedangkan dalam halnya seorang yang wajib menyerahkan hak milik atas suatu benda tak bergerak tidak ada aturannya, bahwa untuk yang terakhir ini tiada suatu kemungkinan untuk melaksanakan suatu eksekusi riil.
Untuk melaksanakan suatu perjanjian, lebih dahulu harus ditetapkan secara tegas dan cermat apa saja isinya perjanjian perjanjian tersebut, atau juga dengan perkataan lain : apa saja hak dan kewajiban masing-masing pihak. Biasanya orang mengadakan suatu perjanjian dengan tidak mengatur atau menetapkan secara teliti hak dan kewajiban mereka. Mereka itu hanya menetapkan hal-hal yang pokok dan penting saja. Dalam jual beli misalnya hanya ditetapkan tentang barang mana yang dibeli jenisnya, jumlahnya, harganya. Tidak ditetapkan tentang : tempat penyerahan barang, biaya penghantaran, tempat dan waktu pembayaran, bagaimana kalau barang musnah di perjalanan dan lain sebagainya.
Menurut pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifatnya perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Dengan demikian maka setiap perjanjian diperlengkapi dengan aturan-aturan yang terdapat dalam undang-undang, yang terdapat pula dalam adat kebiasaan (di suatu tempat dan di suatu kalangan tertentu), sedangkan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh kepatutan(norma-norma kepatutan) harus diindahkan.
Kita melihat dalam pasal 1339 tersebut, bahwa adat kebiasaan telah ditunjuk sebagai sumber norma-norma yang di sampingnya undang-undang, ikut menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari kedua belah pihak dalam suatu perjanjian. Suatu persoalan disini adalah apabila terdapat suatu adat kebiasaan yang berlainan atau menyimpang dari undang-undang, apakah peraturan undang-undang itu masih berlaku ataukah ia sudah disingkirkan oleh adat-kebiasaan tersebut. Jawabnya ialah bahwa suatu pasal(peraturan) undang-undang, meskipun sudah ada suatu adat kebiasaan yang menyimpang, masih tetap berlaku dan barang siapa pada suatu hari menunjuk pada peraturan undang-undang tersebut, harus dibenarkan dan tidak boleh dipersalahkan.
Lain halnya adalah dengan apa yang lazim dinamakan "standard-clausula". Ini adalah yang oleh pasal 1347 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimaksudkan dengan "hal-hal yang menurut kebiasaan diperjanjikan". Menurut pasal tersebut maka hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan itu dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Oleh karena dianggap sebagai diperjanjikan atau sebagai bagian dari perjanjian sendiri, maka "hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan itu dapat menyingkirkan suatu pasal undang-undang yang merupakan hukum pelengkap.
Apabila sesuatu hal tidak diatur dalam undang-undang dan juga belum ada kebiasaan tentang hal itu, karena mungkin belum atau tidak begitu banyak dihadapi dalam praktek, maka harus diciptakan suatu penyelesaian dengan berpedoman pada "kepatutan".
Sebagai kesimpulan dari apa yang dibicarakan di atas dapat ditetapkan bahwa ada tiga sumber norma-norma yang ikut mengisi suatu perjanjian, yaitu : Undang-undang, kebiasaan dan kepatutan.
Menurut pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum P,erdata maka semua perjanjian itu harus dilaksanakan "dengan itikat baik"(dalam bahasa Belanda "tegoeder trouw", dalam bahasa Inggris "in good faith", dalam bahasa Perancis "de bonne foi"). Norma ini merupakan salah satu sendi yang terpenting dari Hukum Perjanjian. Yang dimaksudkan adalah, bahwa pelaksanaan itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Jadi, yang dimaksud adalah ukuran-ukuran obyektif untuk menilai pelaksanaan tadi. "Pelaksanaan perjanjian harus berjalan di atas rel yang benar".
Dalam pasal 1338 (3) itu Hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan atau keadilan. Ini berarti, bahwa Hakim itu berkuasa untuk. menyimpang dari isi perjanjian menumt hurufnya, manakala pelaksanaan menurut humf itu akan bertentangan dengan itikad baik. Kalau ayat kesatu dari pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dapat kita pandang sebagai suatu syarat atau tuntutan kepastian hukum (yaitu bahwa janji itu mengikat), maka ayat ketiga ini harus kita pandang sebagai suatu tuntutan keadilan. Memang, selalu Hukum itu mengejar dua tujuan : menjamin kepastian (ketertiban) dan memenuhi tuntutan keadilan. Kepastian Hukum menghendaki supaya apa yang dijanjikan harus dipenuhi (ditepati). Namun, dalam menuntut dipenuhinyajanji itu, janganlah orang meninggalkan norma-norma keadilan atau kepatutan. "Berlakulah adil dalam menuntut pemenuhan janji itu"!
Di samping kepastian tentang mengikatnya suatu janji dalam keadaan normal, ada suatu perjagaan untuk mencegah pelaksanaan yang akan memperkosa rasa keadilan. Dan kekuasaan mencegah ekses-ekses ini diletakkan di tangan hakim, yang jika perlu, juga berwenang untuk menghapuskan sama sekali suatu kewajiban kontraktuil.
Persoalan apakah suatu pelaksanaan perjanjian bertentangan dengan itikad baik atau tidak, adalah suatu persoalan yuridis atau persoalan hukum, yang tunduk pada peninjauan oleh Pengadilan Kasasi (Mahkamah Agung).
Suatu perjanjian terdiri atas serangkaian perkataan-perkataan. Untuk menetapkan isi sesuatu perjanjian, perlu terlebih dahulu ditetapkan dengan cermat apa yang dimaksud oleh para pihak dengan mengucapkan atau menulis perkataan-perkataan tersebut. Perbuatan ini dinamakan "menafsirkan" perjanjian. Menafsirkan, sebagai menempatkan "duduknya perkara" atau menetapkan fakta-fakta, tidak termasuk persoalan yuridis (persoalan hukum) yang tunduk pada pemeriksaan kasasi, sehingga hanya dapat dipersoalkan sampai di muka Pengadilan Banding (Pengadilan Tinggi), dan tidak lagi di muka Pengadilan Kasasi (Mahkamah Agung).
Dalam hal penafsiran perjanjian ini pedoman utama ialah : kata-kata suatu perjanjian jelas, maka tidaklah diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran. Contohnya : Kalau dalam perjanjian ditulis, bahwa satu pihak akan memberikan seekor sapi, maka tidak boleh itu ditafsirkan sebagai seekor kuda.
Pedoman-pedoman lain yang penting dalam menafsirkan suatu perjanjian  adalah :
a.    Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran,
maka harus dipilihnya menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat
perjanjian itu dari pada memegang teguh arti kata-kata menumt humf.
b.    Jika sesuatu janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilihnya
pengertian yang sedemikian yang memungkinkan janji itu dilaksanakan dari
pada memberikan pengertian yang tidak memungkinkan suatu pelaksanaan.
c.    Jika kata-kata dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih
pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian.
d.    Apa yang meragukan harus ditafsirkan menumt apa yang menjadi kebiasaan
di.negeri atau di tempat dimana perjanjian telah diadakan.
e.    Semua janji harus diartikan dalam hubungan satu sama lain, tiap janji harus
ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya.
f.     Jika ada keragu-raguan, maka suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kemgian
orang yang telah meminta diperjanjikannya sesuatu hal dan, untuk keuntungan
orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu.
7.                  WANPRESTASI
Apabila siberhutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukannya, maka dikatakan bahwa ia melakukan "wanprestasi". Ia adalah "alpa" atau "lalai" atau "bercidra-janji". Atau juga ia "melanggar perjanjian", yaitu apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Perkataan "wanprestasi" berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi yang bumk.
Wanprestasi seorang debitur dapat bempa empat macam :
a.     tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
b.    melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
c.    melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
d.    melakukan sesuatu yang menumt perjanjian tidak boleh dilakukannya.
   Terhadap kelalaian atau kealpaan siberhutang itu (atau pihak yang wajib melakukan sesuatu), diancamkan beberapa sanksi atau hukuman.
Hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak bagi debitor yang lalai tadi ada empat macam, yaitu :
pertama   :    membayar keragian yang diderita oleh kreditor atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi.
kedua      :   pembatalan perjanjian atau juga dinamakan "pemecahan" perjanjian.
ketiga      :   peralihan risiko.
keempat   :   membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di muka hakim.
Karena wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begito penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah siberhutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya, harus dibuktikan di muka hakim. Kadang-kadang juga tidak mudah untuk mengatakan bahwa seorang lalai atau alpa, karena seringkali juga tidak diperjanjikan dengan tepat kapan sesuatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang dijanjikan. Dalam jual-beli barang misalnya tidak ditetapkan kapan barangnya harus diantarkan ke rumah si pembeli, atau kapan si pembeli ini harus membayar uang harga barang tadi.
Mengenai perjanjian-perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu perbuatan, maka jika dalam perjanjian tidak ditetapkan bahwa siberhutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan, pelaksanaan prestasi harus lebih dahulu ditagih. Kepada debitor itu harus diperingatkan bahwa kreditor menghendaki pelaksanaan perjanjian.
Tentang bagaimana caranya memperingatkan seorang debitor agar supaya jika ia tidak memenuhi teguran itu, dapat dikatakan lalai, diberikan petonjuk oleh pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi: "Si berhutang adalah lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akte sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri ialah jika ini menetapkan bahwa si berhutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan".
Yang dimaksudkan dengan surat perintah itu ialah suatu peringatan resmi yaitu peringatan oleh seorang jurusita Pengadilan. Perkataan "akte sejenis itu" yang sebenarnya oleh Undang-undang dimaksudkan sebagai suatu peringatan tertolis, sekarang sudah lazim ditafsirkan sebagai suatu peringatan atau teguran yang juga boleh dilakukan secara lisan, asal cukup tegas menyatakan desakan si berpiutang supaya prestasi dilakukan dengan seketika atau dalam waktu yang singkat. Hanya tentu saja sebaiknya dilakukan dengan tertulis, dan seyogyanya dengan surat tercalat, agar supaya nanti di muka hakim tidak mudah dipungkiri oleh si berhutang.
Apabila seorang debitor sudah diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih janjinya, maka jika ia tetap tidak melakukan prestasinya, ia berada dalam keadaan lalai atau alpa dan terhadap dia dapat diperlakukan sanksi-sanksi yaitu ganti-rugi, pembatalan perjanjian dan peralihan resiko.
Ganti-rugi sering diperinci dalam tiga unsur : biaya, rugi dan bunga (dalam bahasa Belanda "kosten, schaden en interessen").
Yang dimaksud dengan biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Istilah rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan karena kelalaian sidebitur. Dan yang dimaksudkan dengan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan (bahasa Belanda "winstderving"), yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.
Code.Civil (dalam bahasa Perancis) memerinci ganti-rugi itu dalam dua unsur yaitu "dommages et interest". "Dommages" meliputi apa yang kita namakan "biaya dan rugi" sebagaimana dibicarakan di atas, sedangkan "interest" adalah sama dengan "bunga" dalam arti kehilangan keuntungan.
, Dalam soal penuntutan ganti-rugi oleh Undang-undang diberikan ketentuan-ketentuan tentang apa yang dapat dimasukkan dalam ganti-rugi tersebut. Boleh dikatakan, ketentuan tersebut merapakan pembatasan dari apa- yang boleh dituntut sebagai ganti-rugi. Dengan demikian seorang debitur yang alpa atau lalai, masih juga diperlindungi oleh Undang-undang terhadap kesewenangan si kreditur.
Pasal 1247 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menentukan : "Siberhutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata telah, atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu-daya yang dilakukan olehnya".
Pasal 1248 juga menyebutkan :"bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu-daya siberhutang, penggantian biaya, rugi dan bunga, sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si berpihutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merapakan akibat langsung dari terpenuhinya perjanjian".
Suatu pembatasan lagi dalam pembayaran ganti-rugi terdapat dalam peraturan mengenai "bunga moratoir". Apabila prestasi itu berupa membayar sejumlah uang, maka kerugian yang diderita oleh kreditur, apabila pembayaran itu terlambat, adalah berupa interest, rente atan "bunga". Perkataan "moratoir" berasal dari perkataan Latin "mora" yang berarti kealpaan atau kelalaian. Jadi, bunga moratoir berarti bunga yang harus dibayar (sebagai hukuman) karena debitur itu alpa atau lalai membayar hutangnya. Oleh suatu undang-undang yang dimuat dalam Lembaran Negara tahun 1848 NO. 22 bunga tersebut ditetapkan 6 (enam) prosen setahun, dan menurut pasal 1250 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, selainnya bahwa bunga yang dapat dituntut itu tidak boleh melebihi prosenan yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut, juga ditentukan bahwa bunga tersebut baru dihitung sejak dituntutnya kepada Pengadilan, jadi sejak dimasukkannya surat gugat.
Mengenai pembatalan perjanjian atau juga dinamakan "pemecahan" perjanjian, sebagai sanksi kedua atas kelalaian seorang debitur, mungkin ada orang yang tidak dapat melihat sifatnya pembatalan atau pemecahan tersebut sebagai suatu hukuman. Dikiranya sidebitur malahan merasa lega dengan dibatalkannya perjanjian karena ia dibebaskan dari kewajibannya melakukan prestasi. Memang adakalanya pembatalan itu dirasakan sebagai suatu pembebasan, tetapi betapa beratnya pembatalan itu dirasakan dapat dibayangkan jika kita memikirkan nasibnya seorang penjahit yang mendapat pesanan untuk membikin pakaian seragam untuk satu batalyon prajurit, kalau kontraknya dibatalkan pada waktu ia sudah memotongi bahan pakaian beratus-ratus meter.
Pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau sampai pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan. Masalah pembatalan perjanjian karena kelalaian atau wanprestasi dari pihak debitur ini, dalam Kitab undang-undang Hukum Perdata menemukan pengaturannya dalam pasal 1266, ialah pasal yang terdapat dalam bagian kelima dari Bab I dari Buku m, ialah suatu bagian yang mengatur tentang "perikatan bersyarat".
Kelalaian atau wanprestasi tidak secara otomatis membuat batal atau membatalkan suatu perjanjian seperti halnya dengan suatu "syarat batal". Dalam pasal 1266 juga terdapat lanjutan sebagai berikut: "Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang bertimbal balik manakala salah satu pihak tidak memenuhi keajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.
Dalam halnya perjanjian dibatalakan, maka kedua belah pihak dibawa dalam keadaan sebelum perjanjian diadakan. Dikatakan bahwa pembatalan itu berlaku surut sampai pada detik dilahirkannya perjanjian. Apa yang sudah terlanjur diterima oleh satu pihak harus dikembalikan kepada pihak yang lainnya.
Peralihan risiko sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam pasal 1237 ay at 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi obyek perjanjian.
Menurut pasal 1460 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka risiko dalam jual-beli barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau si penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan risiko tadi dari si pembeli kepada penjual.
Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara (pasal 181 ayat 1 H.I.R.). Seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan kalau sampai terjadi suatu perkara di muka hakim.
Menurut pasal 1267, pihak kreditur dapat menuntut terhadap si debitur yang lalai itu : pemenuhan perjanjian atau pembatalan disertai penggantian biaya, rugi dan bunga (disingkat "ganti-rugi"). Dengan sendirinya ia juga dapat menentukan pemenuhan perjanjian disertai ganti-rugi.
Sebagai kesimpulan dapat ditetapkan bahwa kreditur dapat memilih antara tuntutan-tuntutan sebagai berikut :
a.                  pemenuhan perjanjian
b.                  pemenuhan perjanjian disertai ganti-rugi
c.                   ganti-rugi saja
d.        pembatalan perjanjian
e.                  pembatalan disertai ganti-rugi.
8.        CARA-CARA HAPUSNYA SUATU PERIKATAN
Pasal 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan. Cara-cara tersebut :
a.                  pembayaran
b.                  penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan penitipan
c.                   pembaharuan hutang
d.        perjumpaan hutang atau kompensasi
e.                  percampuran hutang
a.                  pembebasan hutang
b.                  musnahnya barang yang terhutang
c.                   kebatalan/pembatalan
d.                  berlakunya suatu syarat batal dan
e.                  lewatnya waktu.
Cara-cara hapusnya perikatan itu akan dibicarakan satu persatu di bawah ini.
1)        PEMBAYARAN
Nama "pembayaran" dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara suka rela. Dalam arti yang sangat luas ini, tidak saja pihak pembeli membayar uang harga pembelian, tetapi pihak penjualpun dikatakan "membayar" jika ia menyerahkan atau "melever" barang yang dijualnya. Yang wajib membayar suatu utang bukan saja si berhutang (debitur) tetapi juga seorang kawan berhutang dan seorang penanggung hutang ("borg"). Menurut pasal 1332 Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa suatu perikatan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan asal saja orang pihak ketiga bertindak atas nama dan untuk melunasi hutangnya si berhutang, atau jika ia bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang.
Pembayaran harus dilakukan kepada si berpiutang (kreditur) atau kepada seorang yang dikuasakan olehnya atau juga kepada seorang yang dikuasakan hakim atau oleh Undang-undang untuk menerima pembayaran-pembayaran bagi si berpiutang. Pembayaran yang dilakukan kepada seorang yang tidak berkuasa menerima bagi si berpiutang, adalah sah, sekedar si berpiutang telah menyetujuinya atau nyata-nyata telah mendapat mafaat karenanya.
Si debitur tidak boleh memaksa krediturnya untuk menerima pembayaran hutangnya sebagian demi sebagian, meskipun hutang itu dapat dibagi-bagi. Mengenai tempatnya pembayaran, pasal 1393 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menerangkan sebagai berikut :
"Pembayaran harus dilakukan di tempat yang ditetapkan dalam perjanjian, jika dalam perjanjian tidak ditetapkan suatu tempat, maka pembayaran yang mengenai suatu barang tertentu, harus dilakukan di tempat di mana barang itu berada sewaktu perjanjian dibuat.
Di luar kedua hal tersebut, pembayaran harus dilakukan di tempat tinggal si berpiutang, selama orang itu terus-menerus berdiam dalam keresidenan di mana ia berdiam sewaktu dibuatnya perjanjian, dan di dalam hal-hal lainnya di tempat tinggalnya si berhutang".
Ketentuan dalam ayat pertama yang menunjuk pada tempat di mana barang berada sewaktu perjanjian ditutup, adalah sama dengan ketentuan dalam pasal 1477 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dalam jual beli, di mana juga tempat tersebut ditunjuk sebagai tempat di mana barang yang dijual harus diserahkan. Memang sebagai mana sudah diterangkan "pembayaran" dalam arti yang luas juga ditujukan pada pemenuhan prestasi oleh si penjual yang terdiri atas penyerahan barang yang telah diperjual belikan.
Ketentuan dalam ayat kedua , berlaku juga dalam pembayaran-pembayaran di mana yang dibayarkan itu bukan suatu barang tertentu, jadi uang atau barang yang dapat dihabiskan. teristimewa ketentuan tersebut adalah penting untuk pembayaran yang berupa uang. Dengan demikian maka hutang-hutang yang berupa uang pada azasnya harus dibayar di tempat tinggal kreditur, dengan perkataan lain pembayaran itu harus dihantarkan. Hutang uang yang menurut undang-undang harus dipungut di tempat tinggalnya debitur hanyalah hutang wesel.
Sesuai dengan ketentuan tersebut di atas maka oleh pasal 1395 ditetapkan bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelengarakan pembayaran harus dipikul oleh debitur.
Suatu masalah yang muncul dalam soal pembayaran, adalah masalah subrogasi atau penggantian hak-hak si berpiutang (kreditur) oleh seorang ketiga yang membayar kepada si berpiutang itu. Dalam subrogasi atau penggantian ini, seorang ketiga yang membayar suatu utang menggantikan kedudukan kreditur, terhadap si debitur. Subrogasi atau penggantian tersebut di atas dapat terjadi baik dengan perjanjian, baik demi undang-undang.
Dari apa yang telah dibicarakan di atas, dapat dilihat bahwa jika seorang membayar hutangnya orang lain, maka pada umumnya tidak terjadi subrogasi, artinya : pada umumnya orang yang membayar itu tidak menggantikan kreditur. Hanya apabila itu dijanjikan atau dalam hal-hal di mana itu ditentukan oleh undang-undang, maka barulah ada penggantian.
2)        PENAWARAN PEMBAYARAN TUNAI DllKUTl PENYIMPANAN ATAU PENITIPAN
Ini adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran. Caranya sebagai berikut : barang atau uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang notaris atau seorang juru sita pengadilan. Notaris atau juru sita membuat suatu perincian dari barang-barang atau uang yang akan dibayarkan itu dan pergilah ia ke rumah atau tempat tinggal kreditur, kepada siapa ia memberitahukan bahwa ia atas perintah debitor datang untuk membayar hutangnya debitor tersebut, pembayaran mana akan dilakukan dengan menyerahkan (membayarkan) barang atau uang yang telah diperinci itu. Notaris atau juru sita tadi sudah menyediakan suatu proses verbal. Apabila kreditur suka menerima barang atau uang yang ditawarkan itu, maka selesailah perkara pembayaran itu. Apabila kreditur menolak yang biasanya memang sudah dapat diduga maka Notaris/juru sita akan mempersilahkan kreditur itu menanda-tangani proses verbal tersebut dan jika kreditur tidak suka menaruh tanda-tangannya maka hal itu akan dicatat oleh notaris/juru sita di atas surat proses verbal tersebut. Dengan demikian terdapatlah suatu bukti yang resmi bahwa si berpiutang telah menolak pembayaran. Langkah yang berikutnya ialah : si berhutang (debitor) di muka pengadilan negeri dengan permohonan kepada pengadilan itu supaya pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran yang telah dilakukan itu. Setelah penawaran pembayaran itu disahkan maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpankan atau dititipkan kepada panitera Pengadilan Negeri dengan demikian hapuslah hutang-pihutang itu. Barang atau uang tersebut di atas berada dalam simpanan di kepaniteraan Pengadilan Negeri atas tangggungan atau resiko si berpiutang. Si berhutang sudah bebas dari hutangnya. Segala biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan penawaran pembayaran tonai dan penyimpanan, harus dipikul oleh si berhutang.
3)      PEMBAHARUAN HUTANG ATAU NOVASI
Menurut pasal 1413 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada tiga macam jalan untuk melaksanakan suatu pembaharuan hutang atau novasi itu, yaitu :
a.    apabila seorang yang berhutang membuat suatu perikatan hutang baru guna orang yang akan menghutangkan kepadanya, yang menggantikan hutang yang lama yang dihapuskan karenanya.
b.    apabila seorang berhutang baru ditonjuk untuk menggantikan orang berhutang lama, yang oleh si berpihutang dibebaskan dari perikatannya.
c.    apabila, sebagai akibat dari suatu perjanjian baru seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang lama, terhadap siapa si berhutang dibebaskan dari perikatannya.
Novasi yang disebutkan pada (a), dinamakan novasi obyektif, karena yang diperbaharui adalah obyeknya perjanjian, sedangkan yang disebutkan pada (b) dan (c) dinamakan novasi subyektif, karena yang diperbaharui di situ adalah subyek-subyeknya atau orang-orangnya dalam perjanjian. Jika yang diganti debiturnya (b) maka novasi itu dinamakan subyektif pasif, sedangkan apabila yang diganti itu kreditur (c) novasi dinamakan subyektif aktif.
4)             PERJUMPAAN HUTANG ATAU KOMPENSASI
Ini adalah suatu cara penghapusan hutang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan hutan-pihutang secara bertimbal balik antara kreditur dan debitor.
Jika dua orang saling berhutang satu sama lain maka terjadilah antara mereka satu perjumpaan dengan mana antara kedua orang tersebut dihapuskan, demikianlah diterangkan oleh pasal 1424 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal tersebut selanjutnya mengatakan bahwa perjumpaan itu terjadi demi hukum, bahkan dengan setidak tahunya orang-orang yang bersangkutan dan kedua hutang itu yang satu menghapuskan yang lain dan sebaliknya pada saat hutang-hutang itu bersama-sama ada, bertimbal balik untuk suatu jumlah yang sama. Agar supaya dua hutang dapat diperjumpakan, maka perlulah bahwa dua hutang itu seketika dapat ditetapkan besamya atau jumlahnya dan seketika dapat ditagih.
Perjumpaan terjadi dengan tidak dibedakan dari sumber apa hutang-pihutang antara kedua belah pihak itu telah dilahirkan, terkecuali:
a.                apabila dituntutnya pengembalian suatu barang yang secara berlawanan dengan hukum dirampas dari pemiliknya.
b.                apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.
c.        terdapat sesuatu hutang yang bersumber kepada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita (alimentasi). Demikianlah dapat dibaca dari pasal 1429 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Maksudnya adalah terang jika kita memperkenankan perjumpaan dalam hal-hal yang disebutkan di atas, maka
itu akan berarti mengesahkan seorang yang main hakim sendiri atas ketentuan hukum. Maka dari itu pasal tersebut di atas mengadakan larangan kompensasi dalam hal-hal yang disebutkan itu.
5)      PERCAMPURAN HUTANG
Apabila kedudukan sebagai orang berpihutang (kreditur) dan orang yang berhutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran hutang dengan mana utang piutang itu dihapuskan. Misalnya, si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh kreditumya atau si debitur kawin dengan kreditumya dalam suatu persatuan harta kawin. Hapusnya hutang-pihutang dalam hal percampuran ini, adalah betul-betul "demi hukum" dalam arti otomatis.
Percampuran hutang yang terjadi pada dirinya si berhutang utama berlaku juga untuk keuntungan para penanggung hutangnya (borg) sebaliknya percampuran yang terjadi pada seorang penangung hutang (borg) tidak sekali-kali mengakibatkan hapusnya hutang pokok.
6)      PEMBEBASAN HUTANG
Teranglah, bahwa apabila si berpihutang dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari si berhutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka perikatan - yaitu hubungan hutang-piutang -hapus, perikatan ini hapus karena pembebasan. Pembebasan sesuatu hutang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.
Pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara suka rela oleh si berpihutang kepada si berhutang, merupakan suatu bukti tentang pembebasan hutangnya, bahkan terhadap orang-orang lain yang turut berhutang secara tanggung menanggung. Pengembalian barang yang diberikan dalam gadai atau sebagai tanggungan tidaklah cukup dijadikan persaingkaan tentang dibebaskannya hutang. Ini sebetulnya tidak perlu diterangkan, sebab perjanjian gadai (pand) adalah suatu perjanjian accessoir yang artinya suatu buntut belaka dari perjanjiannya pokok, yaitu perjanjian pinjam uang.
7)      MUSNAHNYA BARANG YANG TERHUTANG
Jika barang tertentu yang menjadi obyek dari perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya asal barang tadi musnah atau hilang diluar kesalahan si berhutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan juga meskipun debitur itu lalai menyerahkan barang itu (misalnya terlambat), iapun akan bebas dari perikatan apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian diluar kekuasaannya dan bahwa barang tersebut toh juga akan menemui nasib yang sama meskipun sudah berada di tangan kreditur.
Apabila si berhutang, dengan terjadinya peristiwa-peristiwa seperti di atas telah dibebaskan dari perikatannya terhadap kreditumya, maka ia diwajibkan menyerahkan kepada kreditur itu segala hak yang mungkin dapat dilakukannya terhadap orang-orang pihak ketiga sebagai pemilik barang yang telah hapus atau hilang itu.
8)      KEBATALAN/PEMBATALAN
Meskipun di sini disebutkan kebatalan dan pembatalan, tetapi yang benar adalah "pembatalan" saja, dan memang kalau kita melihat apa yang diatur oleh pasal 1446 dan selanjutnya dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata, temyatalah bahwa ketentuan-ketentuan disitu kesemuanya mengenai "pembatalan". Kalau suatu perjanjian batal demi hukum maka tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada tentu saja tidak hapus.
Yang diatur oleh pasal 1446 dan selanjutnya adalah pembatalan perjanjian-perjanjian yang dapat dimintakan pembatalan (vernietigbaar atau voidable) sebagaimana yang sudah kita lihat pada waktu kita membicarakan tentang syarat-syarat untuk suatu perjanjian yang sah (pasal 1320).
Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan syarat subyektifnya itu dapat dilakukan dengan dua cara : pertama, secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang demikian itu dimuka hakim. Kedua, secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat di muka hakim untuk memenuhi perjanjian dan disitulah baru memajukan tentang kekurangannya perjanjian itu.
9)      BERLAKUNYA SUATU SYARAT-BATAL
Perikatan bersyarat itu adalah suatu perikatan yang nasibnya digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi,
baik secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa tadi, atau secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.
Dalam hal yang pertama, perikatan dilahirkan hanya apabila peristiwa yang termaksud itu terjadi. Dalam hal yang kedua suatu perikatan yang sudah dilahirkan justru akan berakhir dibatalkan apabila peristiwa yang termaksud itu terjadi. Perikatan semacam yang terakhir itu dinamakan suatu perikatan dengan suatu syarat batal.
Dalam hukum perjanjian pada azasnya syarat batal selamanya berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian, demikianlah pasal 1265 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dengan demikian maka syarat batal itu mewajibkan si berhutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi.
10)  LEWATNYA WAKTU
Menurut pasal 1946 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang dinamakan “daluwarsa" atau "lewat waktu" ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan daluwarsa "acquisitip" sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan (atau suatu tuntutan) dinamakan daluwarsa "extinctip". Daluwarsa yang pertama tadi sebaiknya dibicarakan berhubungan dengan hukum benda. Daluwarsa dari macam yang kedua dapat sekedarnya dibicarakan di sini meskipun masalah daluwarsa itu suatu masalah yang memeriukan pembicaraan tersendiri. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata masalah daluwarsa itu diatur dala Buku IV bersama-sama dengan soal pembuktian.
Menurut pasal 1967 maka segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun, sedangkan siapa yang rnenunjukkan akan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu atas hak, lagi pula tak dapatlah dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk.
Dengan lewatnya waktu tersebut di atas hapuslah setiap perikatan hukum dan tinggallah pada suatu "perikatan bebas" (natuurlijke verbintenis) artinya kalau dibayar boleh tetapi tidak dapat dituntut dimuka hakim. Debitur jika ditagih hutangnya atau dituntut di muka pengadilan dapat memajukan tangkisan (eksepsi) tentang kedaluwarsaannya pihutang dan dengan demikian mengelakkan atau menangkis setiap tuntutan.
***Diolah dari berbagai sumber.

Comments