Hukum Perikatan
1.
PERIHAL PERIKATAN DAN SUMBER-SUMBERNYA
Perkataan
"perikatan" (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan "perjanjian", sebab
dalam perikatan diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada
suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang
melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal perkataan yang timbul dari pengurusan
kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan
persetujuan (zaakwaarneming).
Adapun yang dimaksudkan dengan "perikatan"
ialah: suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang
memberi hak pada yang satu
untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pihak yang
berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang
atau "kreditur", sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau
"debitur". Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan
"prestasi", yang menurut undang-undang dapat berupa :
a. menyerahkan
suatu barang
b. melakukan
suatu perbuatan
c. tidak
melakukam suatu perbuatan.
Mengenai sumber-sumber perikatan, oleh undang-undang
diterangkan, bahwa suatu
perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari
undang-undang. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi atas
perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan yang lahir dari
undang-undang karena
suatu perbuatan orang. Yang belakangan ini, dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari suatu
perbuatan yang diperbolehkan dan yang lahir dari perbuatan
yang berlawanan dengan hukum.
Apabila seorang berhutang tidak memenuhi kewajibannya,
menurut bahasa hukum ia melakukan "wanprestasi" yang menyebabkan ia
dapat digugat di depan hakim. Dalam hukum berlaku suatu asas, orang tidak boleh
menjadi hakim sendiri. Seorang
berpiutang yang menghendaki pelaksanaan suatu perjanjian dari seorang berhutang
yang tidak memenuhi kewajibannya, harus meminta perantaraan Pengadilan.
Tetapi sering terjadi bahwa si berhutang sendiri dari
semula sudah memberikan persetujuanya, kalau ia
sampai lalai, si berpiutang berhak melaksanakan sendiri hak-haknya menurut perjanjian, dengan
tak usah meminta perantaraan hakim. Ini telah kita lihat dalam hal pandrecht. Pelaksanaan yang
dilakukan sendiri oleh seorang berpiutang dengan tidak melewati hakim, dinamakan
"parate executie". Orang yang berhutang dengan memberikan tanggungan gadai sejak
semula telah memberikan izin
kalau ia lalai, barang tanggungan boleh dijual oleh si berpiutang untuk
pelunasan hutang
dengan hasil penjualan itu. Begitu juga halnya dengan seorang pemberi hypotheek dengan "beding van eigenmachtige
verkoop".
Jadi pada umumnya, si berpiutang harus menempuh jalan
menuntut si berhutang di
depan Pengadilan. Jika prestasi yang dikehendaki itu berupa membayar sejumlah uang, memang si berpiutang sudah
tertolong jika ia mendapat suatu putusan Pengadilan, karena ia dapat minta dijalankannya putusan
itu dengan menyita dan melelang harta benda si
berhutang.
Tetapi jika untuk prestasi yang dikehendaki itu diperlukan
persetujuan atau bantuan
pribadi dari si berhutang - yang enggan memberikan persetujuan atau bantuan itu - si berpiutang masih
menghadapi kesulitan. Misalnya, dalam hal si berhutang harus memberikan hypotheek atau menyerahkan
sebuah benda yang tak bergerak.
Dalam hal ini sebagai diketahui harus ada suatu akte pemberian hypotheek atau suatu akte transport, yang dibuat
di depan notaris, dengan bantuan si berhutang. Dalam hal pemberian hypotheek, kesulitan tersebut dapat
di atasi, karena undang-undang
mengizinkan pelaksanaan dengan pendaftaran putusan Pengadilan dalam daftar-daftar hypotheek (lihat pasal
1171 ayat 3 B.W.), tetapi ini merupakan suatu kekecualian. Mengenai penyerahan sebuah benda yang tak
bergerak, kesulitan masih tetap ada selama tidak diadakan ketentuan seperti dalam
hal pemberian hypotheek tersebut,
dan selama para hakim masih memegang teguh pendirian bahwa persetujuan si berhutang (akte transport) tidak
mungkin digantikan oleh suatu putusan hakim.
Cara melaksanakan suatu putusan, yang oleh hakim
dikuasakan pada orang berpiutang untuk mewujudkan sendiri apa yang menjadi
haknya, dinamakan "reele executie." Dalam B.W. sendiri cara pelaksanaan ini
dibolehkan dalam hal-hal berikut :
a.
Dalam
hal perjanjian-perjanjian yang bertujuan bahwa suatu pihak tidak akan melakukan suatu perbuatan, misalnya
tidak akan membuat suatu pagar tembok yang lebih tinggi dari 3 meter, pihak yang lain dapat
dikuasakan oleh hakim untuk membongkar sendiri
apa yang telah diperbuat dengan melanggar perjanjian itu (lihat pasal 1240).
b.
Dalam
hal perjanjian-perjanjian untuk membikin suatu barang (yang juga dapat dibuat oleh seorang lain, misalnya
suatu garage), pihak yang berkepentingan dapat dikuasakan oleh hakim untuk membikin sendiri atau menyuruh orang lain
membikinnya, atas biaya yang harus dipikul oleh si berhutang (lihat pasal 1241).
Jika prestasi berupa menyerahkan suatu barang tertentu
atau melakukan suatu perbuatan
yang sangat pribadi (membuat lukisan oleh seorang pelukis ternama), pada
umumnya tidaklah mungkin untuk mewujudkan prestasi itu dengan tiada bantuan si berhutang, dan terpaksalah
si berpiutang menerima suatu penggantian kerugian
berupa uang.
Dalam B.W, ada tersebut suatu macam perikatan yang
dinamakan "natuurlijke verbintenis". Secara tegas tidak diberikan suatu
uraian tentang apa yang dimaksudkan dengan perikatan semacam itu. Satu-satunya pasal yang
memakai perkataan tersebut, ialah pasal 1359 ayat 2, yang hanya menerangkan , bahwa
terhadap "natuurlijke verbintenissen" yang secara suka rela dipenuhi
(dibayar), tidaklah diperkenankan untuk meminta kembali apa yang telah
dibayarkan itu. Dengan kata lain apa yang sudah dibayarkan tetap menjadi hak si
berpiutang, karena pembayaran tersebut dianggap sah. Artinya tidak termasuk dalam golongan
pembayaran yang tidak diwajibkan, seperti yang
dimaksudkan dalam ayat 1 pasal 1359 tersebut.
Berhubung dengan tidak adanya suatu uraian yang tegas,
timbullah pertanyaan tentang
pengertian apakah yang harus diberikan pada perkataan natuurlijke verbintenis itu. Jawabnya, natuurlijke verbintenis
ialah suatu perikatan yang berada di tengah-tengah
antara perikatan moral atau kepatutan dan suatu perikatan hukum, atau boleh juga dikatakan, suatu perikatan hukum yang
tidak sempurna. Suatu perikatan hukum
yang sempurna selalu dapat ditagih dan dituntut pelaksanaannya di depan hakim. Tidak sedemikian halnya dengan suatu natuurlijke verbintenis, suatu hutang dianggap ada, tetapi hak untuk menuntut pembayaran
tidak ada. Jadi tergantung pada si
berhutang apakah ia hendak memenuhinya atau tidak. Apakah ia hendak menjadikannya suatu perikatan hukum biasa atau
tidak. Apabila ia membayar hutang itu,
seolah-olah ia mengangkat natuurlijke verbintenis itu ke dalam lingkungan hukum. Pada ketika perikatan itu dipenuhi, ia
meningkat menjadi suatu perikatan hukum biasa, tetapi ketika itu juga
hapus karena pembayaran.
Jika sudah terdapat kata sepakat, bahwa suatu
natuurlijke verbintenis itu, adalah suatu perikatan hukum (hanya tidak sempurna), maka
konsekuensinya, ia dapat dibikin
sempurna Misalnya dengan jalan pembaharuan hutang (novatie) atau dengan mengadakan penanggungan hutang
(borgtocht). Kecuali, jika undang-undang melarangnya, sebagaimana terdapat dalam pasal 1790 B.W.
yang melarang untuk membaharui suatu hutang
yang terjadi karena perjudian.
Bahwa perikatan-perikatan tersebut di bawah ini semuanya
termasuk dalam golongan natuurlijke
verbintenis, boleh dikatakan sudah menjadi suatu pendapat umum :
a.
Hutang-hutang
yang terjadi karena perjudian, oleh pasal 1788 tidak diizinkan untuk menuntut pembayaran.
b.
Pembayaran bunga dalam hal
pinjaman uang yang tidak semata-mata diperjanjikan,
jika si berhutang membayar bunga yang tidak diperjanjikan itu, ia tidak dapat memintanya kembali, kecuali jika
apa yang telah dibayarnya itu melampaui bunga menurut undang-undang (6
prosen).
c.
Sisa
hutang seorang pailit, setelah dilakukan pembayaran menurut perdamaian (accord).
2.
MACAM-MACAM
PERIKATAN
Bentuk perikatan yang paling sederhana, ialah suatu
perikatan yang masing-masing pihak hanya ada satu
orang dan satu prestasi yang seketika juga dapat ditagih pembayarannya. Di samping bentuk yang paling sederhana ini,
terdapat beberapa macam perikatan lain sebagai berikut :
A. PERIKATAN BERSYARAT (VOORWAARDELIJK)
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang
digantungkan pada suatu kejadian
di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Pertama
mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu itu timbul. Suatu perjanjian yang
demikian itu, menggantungkan adanya suatu
perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertangguhkan (opschortende voorwaarde). Suatu contoh, apabila
sayaberjanji pada seseorang untuk
membeli mobilnya kalau saya lulus dari ujian, di sini dapat dikatakan bahwa jual-beli itu hanya akan terjadi,
kalau saya lulus dari ujian. Kedua, mungkin
untuk memperjanjikan, bahwa suatu perikatan yang sudah akan berlaku, akan dibatalkan apabila kejadian yang belum tentu
itu timbul. Di sini dikatakan, perikatan
itu digantungkan pada suatu syarat pembatalan (ontbindende voorwaarde). Suatu contoh, misalnya suatu perjanjian : saya
mengijinkan seorang mendiami rumah
saya, dengan ketentuan bahwa perjanjian itu akan berakhir apabila secara mendadak,
saya diperhentikan dari pekeriaan saya.
Oleh undang-undang ditetapkan, bahwa suatu perjanjian
sejak semula sudah batal
(nietig), jika ia mengandung suatu ikatan yang digantungkan pada suatu syarat
yang mengharuskan suatu pihak untuk melakukan suatu perbuatan yang sama sekali tidak mungkin dilaksanakan atau yang
bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan. Baiklah kiranya diperingatkan di sini, bahwa
dalam hukum wans mengenai ini berlaku suatu ketentuan yang berlainan, yaitu
suatu syarat yang demikian
jika dicantumkan dalam suatu testament tidak
mengakibatkan batalnya testament,
tetapi hanya dianggap syarat yang demikian itu tidak ada, sehingga surat wasiat tersebut tetap berlaku dengan tidak mengandung
syarat. Selanjutnya diterangkan, bahwa
dalam tiap perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal-balik, kelalaian salah satu pihak (wanprestasi) selalu
dianggap sebagai suatu syarat pembatalan
yang dicantumkan dalam perjanjian (pasal 1266).
B.
PERIKATAN YANG DIGANTUNGKAN PADA SUATU KETETAPAN WAKTU (TIJDSBEPALING).
Perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan
waktu ialah yang pertama berupa
suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal
yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya
meninggalnya seseorang. Contoh-contoh suatu perikatan yang digantungkan pada suatu
ketetapan waktu, banyak sekali
dalam praktek, seperti perjanjian perburuhan, suatu hutang wesel yang dapat ditagih suatu waktu setelahnya
dipertunjukkan dan lain sebagainya.
C.
PERIKATAN YANG MEMBOLEHKAN MEMILIH (ALTERNATIEF).
Ini adalah suatu perikatan, di mana terdapat dua atau
lebih macam prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia
akan lakukan. Misalnya, ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau
mobilnya atau uang satu juta rupiah.
D.
PERIKATAN TANGGUNG-MENANGGUNG (HOOFDEUJK ATAU SOUDAIR).
Suatu perikatan di mana beberapa orang bersama-sama
sebagai pihak yang berhutang
berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa
orang sama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam yang belakangan ini,
sedikit sekali terdapat dalam praktek.
Beberapa orang yang bersama-sama menghadapi satu orang
berpiutang atau penagih hutang,
masing-masing dapat oituntut untuk membayar hutang itu
seluruhnya. Tetapi jika
salah satu merabayar, maka pembayaran ini juga membebaskan semua teman-teman yang berhutang. Itulah yang dimaksudkan
suatu perikatan tanggung-menanggung.
Jadi, jika dua orang A dan B secara tanggung-menanggung berhutang Rp. 100.000,- kepada C, maka A dan B masing-masing dapat
dituntut membayar Rp. 100.000,-.
Memang dari sudut si berpiutang, perikatan semacam ini
telah diciptakan untuk menjamin
piutangnya, karena jika satu orang tidak suka atau tidak mampu membayar hutangnya, ia selalu dapat meminta
pembayaran dari yang lainnya.
Perikatan tanggung-menanggung, lazim diperjanjikan dalam
suatu perjanjian. Bagaimana
juga, perikatan semacam ini tidak boleh dianggap telah diadakan secara diam-diam, ia selalu harus
diperjanjikan dengan tegas (uitdrukkelijk). Tetapi ada kalanya juga perikatan
tanggung-menanggung itu ditetapkan oleh undang-undang, misalnya dalam B.W. mengenai beberapa
orang bersama-sama meminjam satu barang, mengenai satu orang menerima penyuruhan
(lastgeving) dari beberapa orang. Dalam W.V.K., mengenai suatu perseroan firma, di mana
menurut undang-undang masing-masing pesero bertanggung jawab sepenuhnya untuk
seluruh hutang firma, atau
mengenai suatu wesel, di mana semua orang yang secara berturut-turut telah mengendosirnya, masing-masing
menanggung pembayaran hutang wesel itu untuk seluruhnya, jika penagihan kepada si berhutang menemui
kegagalan.
E. PERIKATAN YANG DAPAT DIBAGI DAN YANG TIDAK
DAPAT DIBAGI.
Suatu perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung pada
kemungkinan tidaknya membagi
prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu
perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil ke muka,
jika salah satu pihak dalam
perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain. Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak
yang menyebabkan ia digantikan dalam segala
hak-haknya oleh sekalian ahliwarisnya.
Pada asasnya - jika tidak diperjanjikan lain - antara
pihak-pihak yang semula suatu
perikatan, tidak boleh dibagi-bagi, sebab si berpiutang selalu berhak menuntut pemenuhan perjanjian untuk sepenuhnya
dan tidak usah ia menerima baik suatu pembayaran
sebagian demi sebagian.
F.
PERIKATAN DENGAN PENETAPAN HUKUMAN (STRAFBEDING).
Untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah
saja melalaikan kewajibannya,
dalam praktek banyak dipakai perjanjian di mana si berhutang dikenakan suatu hukuman, apabila ia
tidak menepati kewajibannya, dalam praktek banyak dipakai perjanjian di mana si berhutang dikenakan
suatu hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini, biasanya
ditetapkan dalam suatu jumlah
uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak
semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu.
Hakim mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman,
apabila perjanjian telah sebahagian dipenuhi.
3.
SYARAT-SYARAT
UNTUK SAHNYA PERJANJIAN
Untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat :
a.
sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya.
b.
kecakapan
untuk membuat suatu perjanjian.
c.
suatu
hal tertentu.
d.
suatu
sebab yang halal.
Demikianlah menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat
subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan
perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat obyektif karena mengenai
perjanjiannya sendiri atau obyeknya dari
perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Dengan
"sepakat" atau juga dinamakan "perizinan" dimaksudkan bahwa
kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu
harus bersepakat, "setuju" atau "seia-sekata" mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan
itu. Apa yang dikehendaki oleh fihak yang
satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara
bertimbal-balik : si penjual mengingini
sejumlah uang, sedang si pembeli mengingini barangnya si penjual.
Orang
yang membuat suatu perjanjian harus "cakap" menurut hukum. Pada azasnya, setiap "orang yang sudah
dewasa" atau "akilbalig" dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam
pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap
untuk membuat suatu perjanjian:
a.
Orang-orang
yang belum dewasa
b.
Mereka yang ditaruh di
bawah pengampunan
c.
Orang-orang
perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada
siapa Undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
Dari sudut rasa keadilan, orang yang membuat suatu
perjanjian nantinya akan "terikat" oleh perjanjian itu dan mempunyai
cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar
akan tanggung-jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, oleh
karena seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan
kekayaannya, orang tersebut harus seorang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas dengan harta kekayaannya.
Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi
tanggung-jawab yang
dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian. Orang yang ditaruh di bawah pengampunan menurut hukum
tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. la berada di bawah pengawasan pengampunnya.
Kedudukannya adalah sama
dengan seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang anak belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau
walinya, maka seorang dewasa yang telah ditaruh di
bawah pengampunan harus diwakili oleh pengampun atau kuratornya.
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, seorang
perempuan yang bersuami,
untuk mengadakan suatu perjanjian.memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya (pasal 108
Kitab Undang-undang Hukum Perdata).
Untuk perjanjian-perjanjian mengenai soal-soal kecil
yang dapat dimasukkan dalam pengertian "keperluan mmah-tangga" maka
dianggaplah si istri itu telah dikuasakan oleh suaminya. Dengan demikian maka seorang
istri dimasukkan dalam golongan
orang-orang yang tidak cakap membuat suatu perjanjian. Perbedaanya dengan
seorang anak belum dewasa ialah bahwa seorang anak harus diwakili oleh orang
tua/wali, sedangkan seorang istri harus "dibantu" oleh sang suami.
Kalau seorang dalam membuat suatu perjanjian
"diwakili" oleh orang lain, maka ia tidak membikin perjanjian itu
sendiri, tetapi yang tampil ke muka wakilnya. Tetapi kalau seorang "dibantu", ini
berarti bahwa ia bertindak sendiri, hanyalah ia didampingi oleh orang lain yang membantunya itu.
Bantuan tersebut dapat diganti dengan surat kuasa
atau izin tertulis ketidak-cakapan seorang
perempuan yang bersuami dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada berhubungan dengan sistem yang dianut dalam
Hukum Perdata Barat (Negeri Belanda)
yang menyerahkan kepemimpinan dalam keluarga itu kepada sang suami.
Kekuasaan suami sebagai pemimpin keluarga inilah dinamakan "maritale macht" (berasal dari perkataan Perancis
"mari" yang berarti suami). Oleh karena ketentuan tentang
ketidak-cakapan seorang perempuan yang bersuami itu di Negeri Belanda sendiri
sudah dicabut karena dianggap tidak sesuai lagi dengan kemajuan jaman, maka
sebaiknya ketentuan tersebut di Indonesia juga dihapuskan. Dan memang, dalam praktek para notaris sekarang sudah mulai
mengijinkan seorang istri, yang tunduk kepada Hukum Perdata Barat, membuat suatu perjanjian di hadapannya, tanpa bantuan
suaminya. Juga dari surat edaran Mahkamah Agung No. 3/1963 tanggal 4 Agustus
1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia
ternyata, bahwa Mahkamah Agung
menganggap pasal-pasal 108 dan 110 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan
perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka Pengadilan tanpa ijin atau bantuan
dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi.
Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian
harus mengenai suatu hal
tertentu artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan.
Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan
jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada di tangannya siberhutang pada waktu perjanjian
dibuat, tidak diharuskan oleh
undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.
Misalnya suatu perjanjian mengenai "panen tembakau dari suatu ladang dalam tahun yang
akan datang" adalah sah, tetapi suatu perjanjian jual-beli "teh untuk Rp.
100" dengan tidak memakai penjelasan lebih terang lagi harus dianggap tidak cukup jelas.
Akhirnya oleh pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata tersebut di atas,
ditetapkan sebagai syarat keempat untuk suatu perjanjian yang sah adanya suatu "sebab yang halal". Dengan "sebab"
(bahasa Belanda "oorzaak", bahasa Latin
"causa") ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian. Dengan
segera harus dihilangkan suatu
kemungkinan salah sangka, bahwa "sebab" itu adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat
perjanjian yang termaksud. Bukan itulah
yang oleh undang-undang dimaksudkan dengan "sebab" yang halal.
Sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat suatu perjanjian atau dorongan jiwa
untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak diperdulikan oleh
undang-undang. Hukum pada asasnya
tidak menghiraukan apa yang berada dalam gagasan seseorang atas apa yang dicita-citakan seorang. Yang
diperhatikan oleh hukum atau undang-undang
hanyalah tindakan-tindakan orang-orang dalam masyarakat. Misalnya, saya membeli rumah karena saya mempunyai
simpanan uang dan saya takut bahwa dalam waktu singkat akan ada suatu tindakan moneter dari
pemenntah atau bahwa nilai
uang akan terus menurun. Atau menjual mobil saya, karena harga alat-alat mobil sudah sangat mahal. Gagasan,
cita-cita, perhitungan yang menjadi dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tadi bagi
undang-undang tidak penting.
Jadi, yang dimaksudkan dengan "sebab" atau
"causa" suatu perjanjian adalah isi
dari pada perjanjian itu sendiri. Dalam suatu perjanjian jual-beli isi tadi adalah : Pihak satu menghendaki uang. Dalam
perjanjian sewa-menyewa : suatu pihak
mengingini kenikmatan sesuatu barang, pihak lain menghendaki uang. Dengan demikian, maka kalau seseorang membeli pisau di
toko dengan maksud untuk membunuh orang dengan pisau tadi, jual-beli
pisau tersebut mempunyai suatu sebab atau
causa yang halal seperti jual-beli barang-barang lain. Lain halnya, apabila soal membunuh itu dimaksudkan dalam perjanjian
misalnya, si penjual hanya bersedia
menjual pisaunya kalau si pembeli membunuh seseorang. Isi perjanjian yang
sekarang menjadi sesuatu hal yang terlarang.
Diperbedakan antara syarat subyektif dan syarat obyektif.
Dalam halnya suatu syarat
obyektif, maka kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu adalah
"batal demi hukum". Artinya : dari semula tidak pernah dilahirkan
suatu perjanjian dan tidak
pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut, yaitu melahirkan suatu
perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian maka tiada dasar untuk saling
menuntut di muka hakim. Dalam bahasa Inggris dikatakan
bahwa perjanjian yang demikian itu "null and void".
Dalam hal suatu syarat
subyektif maka jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetap salah satu pihak mempunyai
hak utuk meminta agar perjanjian itu
digagalkan. Pihak yang minta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau
pihak yang memberi sepakatnya (perijinannya) secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang telah dibuat
itu mengikat juga, selama tidak dibatalkan
(oleh Hakim ) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Dengan
demikian maka nasib sesuatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk
mentaatinya. Perjanjian yang demikian di
namakan "voidable" (bahasa Inggris) atau "vernietigbaal"
(bahasa Belanda). la selalu diancam dengan bahaya pembatalan
("cancelling"). Yang dapat meminta pembatalan adalah, dalam halnya seorang anak yang belum dewasa, anak
itu sendiri apabila ia sudah dewasa
atau orang tua / walinya. Dalam halnya seorang yang berada di bawah pengampunan, pengampunnya. Dalam
halnya seorang yang telah memberikan
sepakat atau perijinannya secara tidak bebas, orang itu sendiri. Bahaya pembatalan itu mengancam selama 5 tahun (pasal
1454 KUHPerd), jadi dibatasi juga oleh undang-undang. Memang, segala
sesuatu yang tidak tentu itu selalu dibatasi oleh undang-undang, demi untuk
keamanan atau ketertiban hukum.
Bahaya
pembatalan yang mengancam itu dapat dihilangkan dengan penguatan ("affirmation") oleh orang tua, wali atau pengampu tersebut.
Penguatan yang demikian
itu dapat terjadi secara tegas, misalnya orang tua, wali atau pengampu itu menyatakan dengan tegas mengakui atau
akan mentaati perjanjian yang telah diadakan oleh anak yang belum dewasa ataupun dapat
terjadi secara diam-diam, misalnya orang tua, wali atau pengampu itu membayar atau
memenuhi perjanjian yang
telah diadakan oleh anak muda itu. Ataupun, orang yang dalam suatu perjanjian telah memberikan sepakatnya secara
tidak bebas, dapat pula menguatkan perjanjian yang dibuatnya, baik secara tegas maupun secara
diam-diam.
4.
PEMBATALAN
SUATU PERJANJIAN
Dalam syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah
diterangkan bahwa, apabila suatu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya
adalah batal demi hukum (null and void). Dalam hal yang demikian maka
secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu
perikatan antara orang-orang yang
bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama
lain, telah gagal. Tak dapatlah pihak
yang satu menuntut pihak yang lain di muka hakim, karena dasar-hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan, karena
jabatannya, menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau
perikatan.
Apabila, pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan
mengenai syarat yang
subyektif, maka sebagaimana sudah kita lihat, perjanjian itu bukannya batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalannya (cancelling) oleh salah satu pihak. Pihak
ini adalah : pihak yang tidak cakap menurut hukum (yang meminta : orangtua atau wali nya, ataupun ia sendiri apabila ia sudah
menjadi cakap), dan pihak yang memberikan perijinan atau menyetujui itu secara
tidak bebas.
Tentang perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal
yang tertentu dapat dikatakan
bahwa perjanjian yang demikian itu tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang dijanjikan oleh
masing-masing pihak. Keadaan tersebut dapat seketika dilihat oleh hakim. Tentang perjanjian yang
isinya tidak halal, teranglah bahwa perjanjian yang demikian itu tidak boleh
dilaksanakan karena melanggar hukum atau kesusilaan. Hal yang demikian juga seketika
dapat diketahui oleh hakim.
Dari sudut keamanan dan ketertiban jelaslah bahwa perjanjian-perjanjian seperti itu harus dicegah.
Tentang perjanjian yang ada kekurangannya mengenai
syarat-syarat subyektifnya yang tersinggung adalah kepentingan seseorang, yang
mungkin tidak mengingini perlindungan
hukum terhadap dirinya, Misalnya, seorang yang oleh Undang-Undang dipandang sebagai tidak cakap, mungkin
sekali sanggup memikul tanggung-jawab sepenuhnya terhadap perjanjian yang telah dibuatnya.
Atau, seorang yang telah memberikan persetujuannya karena khilaf atau tertipu,
mungkin sekali segan atau malu meminta perlindungan hukum. Juga adanya
kekurangan mengenai syarat subyektif itu tidak begitu saja dapat diketahui oleh
hakim jadi harus dimajukan oleh pihak yang berkepentingan, dan apabila dimajukan pada
hakim, mungkin sekali disangkal
oleh pihak lawan, sehingga memerlukan pembuktian.
Oleh karena itu maka dalam halnya ada kekurangan
mengenai syarat subyektif, oleh Undang-Undang diserahkan pada pihak yang
berkepentingan apakah ia menghendaki
pembatalan perjanjiannya atau tidak. Jadi, perjanjian yang demikian itu, bukannya batal demi hukum, tapi dapat dimintakan
pembaialan.
Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan sepakat itu
harus diberikan secara
bebas. Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perijinan tadi tidak bebas, yaitu : paksaan,
kekhilafan dan penipuan. Yang dimaksud dengan pemaksaan adalah pemaksaan rohani
atau jiwa (psikis), jadi bukan paksaan badan atau phisik. Misalnya salah satu
pihak karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian. Jadi
kalau, seorang dipegang tangannya dan tangan itu dipaksa menulis tanda tangan
di bawah surat perjanjian, maka itu bukanlah paksaan dalam arti yang dibicarakan, yaitu sebagai salah satu alasan
untuk meminta pembatalan perjanjian yang
telah dibuat itu. Orang yang dipegang tangannya secara paksaan ini tidak memberikan persetujuannya
sedangkan yang dipersoalkan disini adalah orang yang memberikan persetujuan
(perijinan), tetapi secara tidak bebas, sepertinya seorang yang memberikan persetujuannya karena ia takut
terhadap suatu ancaman misalnya akan
dianiaya atau akan dibuka suatu rahasia kalau ia tidak menyetujui suatu perjanjian. Yang diancam itu
harus suatu perbuatan yang terlarang, kalau
yang diancam itu suatu tindakan yang memang diijinkan oleh undang-undang
misalnya ancaman akan digugat di muka hakim, akan tidak dapat dikatakan tentang
suatu paksaan. Adalah dianggap
sebagai sebagai mungkin, bahwa paksaan itu dilakukan oleh seorang ketiga. Lain halnya dengan penipuan yang hanya
dapat dilakukan oleh pihak lawan.
Kekhilafan atau Kekeliruan terjadi, apabila salah satu pihak
khilaf tentang hal-hal
yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting
dari barang yang menjadi obyek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kekhilafan tersebut harus
sedemikian rupa, hingga, seandainya orang
itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya. Kekhilafan mengenai
barang terjadi misalnya jikalau orang membeli sebuah lukisan yang dikiranya dari Basuki Abdullah dan
kemudian ternyata hanya turunan saja. Kekhilafannya mengenai orang terjadi
misalnya jika seorang Direktur Opera mengadakan suatu kontrak dengan orang yang
dikiranya seorang penyanyi yang tersohor, padahal bukan orang yang dimaksudkan,
hanyalah namanya saja yang
kebetulan sama. Kekhilafan yang demikian itu juga merupakan alasan bagi orang yang khilaf itu untuk meminta
pembatalan perjanjiannya. Adapun kekhilafan itu harus diketahui oleh lawan, atau paling tidak
sedikit harus sedemikian rupa bahwa pihak lawan itu sepatutnya harus mengetahui bahwa
ia berhadapan dengan seorang
yang berada dalam kekhilafan. Kalau pihak lawan itu tidak tahu ataupun tidak
dapat mengetahui bahwa ia berhadapan dengan orang khilaf, maka adalah tidak adil untuk membatalkan
perjanjiannya. Orang yang menjual lukisan yang disebutkan di atas harus
mengetahui bahwa lukisan itu adalah buah tangan asli dari Basuki Abdullah dan
ia membiarkan pembeli itu dalam kekhilafannya. Begitu pula penyanyi yang disebut di atas harus
mengetahui bahwa direktur opera itu secara khilaf mengira mengadakan kontrak dengan penyanyi yang
tersohor yang namanya sama.
Penipuan terjadi, apabila satu pihak dengan sengaja
memberikan keterangan-keterangan
yang palsu atau tidak benar disertai dengan akal-akalan yang cerdik (tipu-muslihat), untuk membujuk pihak
lawannya memberikan, perijinannya. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk
menjerumuskan pihak lawannya. Misalnya mobil yang ditawarkan diganti dulu
merknya, nomor mesinnya dipalsu dan lain sebagainya. Menumt yurispmdensi maka tak
cukuplah kalau orang itu hanya
melakukan kebohongan mengenai sesuatu hal saja, paling sedikit harus ada suatu "rangkaian kebohongan
" atau suatu perbuatan yang dinamakan "tipu-muslihat", seperti yang dilakukan oleh si penjual mobil tersebut di
atas.
Dengan demikian maka ketidak-cakapan seorang dan
ketidak-bebasan dalam memberikan perijinan dalam suatu perjanjian, memberikan
hak kepada pihak yang tidak
cakap dan pihak yang tidak bebas dalam memberikan sepakatnya itu untuk meminta pembatalan perjanjiannya.
Dengan sendirinya harus dimengerti bahwa pihak lawan dari orang-orang tersebut tidak boleh minta
pembatalan itu. Hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak saja, yaitu pihak
yang oleh undang-undang diberi
perlindungan itu. Memintanya pembatalan itu oleh pasal 1454 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dibatasi sampai
suatu batas waktu tertentu yaitu 5 tahun, waktu mana mulai berlaku : dalam halnya ketidak-cakapan
suatu pihak, sejak orang ini
menjadi cakap menumt hukum, dalam halnya paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti. Dalam halnya kekhilafan
atau penipuan sejak hari diketahuinya kekhilafan atau penipuan itu. Pembatasan
waktu tersebut tidak berlaku terhadap kebatalan
yang dimajukan selaku pembelaan atau tangkisan, yang mana selalu dapat dikemukakan. Memang ada dua cara untuk
meminta pembatalan perjanjian itu.
Pertama, pihak yang berkepentingan dapat secara aktif yaitu sebagai penggugat meminta kepada hakim supaya perjanjian itu
dibatalkan. Cara yang kedua ialah menunggu sampai ia digugat di muka hakim
untuk memenuhi perjanjian tersebut. Di muka sidang Pengadilan itu lalu ia
sebagai tergugat mengemukakan bahwa perjanjian tersebut telah
disetujuinya ketika ia masih belum cakap, ataupun disetujuinya karena ia diancam, atau karena ia khilaf mengenai obyeknya
perjanjian atau karena ia ditipu.
Dan di muka sidang pengadilan itu ia mohon kepada hakim supaya perjanjian
dibatalkan. Meminta pembatalan secara pembelaan inilah yang tidak
dibatasi waktunya.
Terhadap
azas konsensualitas yang dikandung oleh pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ada
kekecualiannya, yaitu di sana-sini oleh Undang-Undang ditetapkan suatu formalitas untuk
beberapa macam perjanjian, misalnya : perjanjian penghibahan benda tak bergerak haras dilakukan dengan
akte notaris, perjanjian perdamaian harus dibuat secara tertulis dan lain
sebagainya. Perjanjian-perjanjian untuk mana ditetapkan sesuatu formalitas atau bentuk cara
tertentu itu sebagaimana sudah kita lihat, dinamakan perjanjian formil. Apabila
perjanjian yang demikian itu tidak memenuhi formalitas yang ditetapkan oleh
Undang-undang, maka ia adalah batal
demi hukum.
5.
SAAT DAN LAHIRNYA PERJANJIAN
Menurut azas konsensualitas, suatu perjanjian dilahirkan
pada detik tercapainya sepakat
atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek
perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak
tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang
lainnya, meskipun tidak sejurusan tetapi
secara bertimbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.
Dengan demikian maka untuk mengetahui apakah telah
dilahirkan suatu perjanjian
dan bilamanakah perjanjian itu dilahirkan, harus dipastikan apakah telah tercapai sepakat tersebut dan bilamana
tercapainya sepakat itu.
Menurut ajaran yang paling tua, harus dipegang teguh
tentang adanya suatu persesuain
kehendak antara kedua belah pihak. Apabila kedua kehendak itu berselisih, tak
dapatlah dilahirkan suatu perjanjian. Dalam suatu masyarakat kecil dan
sederhana, dimana
kedua belah pihak itu berjumpa atau hadir sendiri dan pembicaraan diadakan secara lisan, ukuran tersebut masih
dapat dipakai, tetapi dalam suatu masyarakat yang sudah ramai dan modern, ukuran tersebut tak dapat
dipertahankan lagi. Sejak orang memakai surat menyurat dan telegram (kawat) dalam
menyelenggarakan urusan-urusannya,
maka ukuran dan syarat bahwa untuk tercapainya suatu perjanjian diharuskan
adanya persesuaian kehendak, terpaksa ditinggalkan. Sebab, sudah sering terjadi, bahwa apa yang ditulis dalam
surat, atau yang diberitahukan lewat telegram, karena sesuatu kesalahan, berlainan atau berbeda dari
apa yang dikehendaki oleh orang yang menggunakan surat menyurat atau telegram tadi.
Berhubungan dengan kesulitan-kesulitan
yang timbul itu, orang mulai mengalihkan perhatiannya pada apa yang dinyatakan. Yang terpenting
bukan lagi kehendak, tetapi apa yang dinyatakan oleh seorang, sebab pernyataan
inilah yang dapat dipakai sebagai pegangan untuk orang lain. Jadi, apabila ada suatu
perselisihan antara apa yang dinyatakan oleh suatu pihak, maka pernyataan itulah yang
menentukan. Sepakat yang
diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian dianggap telah tercapai apabila pernyataan yang dikeluarkan oleh suatu
pihak diterima oleh pihak lain. Dalam menerima atau menangkap suatu pernyataan diperlukan suatu
pengetahuan tentang istilah-istilah yang lazim dipakai dalam sesuatu kalangan,
di suatu tempat dan pada suatu
waktu tertentu. Suatu contoh: kalau sekarang (dalam tahun 1963) seorang menawarkan mobilnya dengan menyebut
harga "satu setengah'" maka setiap orang harus mengerti bahwa yang dimaksudkan
itu adalah satu setengah juta dan bukannya satu setengah ribu. Suatu pernyataan yang dikeluarkan
(diucapkan) secara bersenda gurau tidak boleh dipegang untuk dijadikan dasar bagi
suatu perjanjian. Lagi pula, apabila suatu pernyataan nyata-nyata atau mungkin
sekali keliru, juga tidak boleh kita memegangnya bagi pembentukan suatu sepakat yang
kita jadikan sebagai dasar bagi suatau perjanjian yang mengikat. Misalnya, si
pemilik mobil tersebut di atas memasang suatu iklan dan disitu secara keliru ditulisakn
satu setengah ribu (yang dimaksudkan
satu setengah juta). Setiap orang yang berpikiran sehat harus mengerti bahwa dalam iklan tersebut tentu ada
suatu kekeliruan atau orang yang memasang iklan tersebut adalah orang yang tidak sehat pikirannya.
Bagaimanapun, pernyataan yang
dipasang dalam iklan tadi menimbulkan kesangsian tentang kebenarannya.
Teranglah bahwa kita tidak boleh menerima penawaran tersebut dan berdasarkan jual beli yang telah tercipta menuntut
penyerahan mobil tersebut dengan pembayaran harga yang ditulis dalam iklan itu. Tetapi, seandainya
ditulis satu seperempat juta, maka iklan tadi tidak akan menimbulkan kesangsian.
Mungkin para pembaca iklan menganggap
harga itu agak murah, tetapi belum termasuk hal yang aneh.
Sebagai kesimpulan dapat ditetapkan suatu norma, bahwa
yang dapat dipakai sebagai
pedoman ialah pernyataan yang sepatutnya dapat dianggap melahirkan maksud dari orang yang hendak mengikatkan dirinya.
Terkenal
adalah suatu perkara yang pernah dimajukan di muka hakim di Jerman Barat (Koln) pada tahun 1856, di mana duduknya perkara
adalah sebagai berikut : sebuah Firma
Oppenheim & Co telah mengirim kawat kepada seorang komisioner dalam urusan-urusan surat-surat Sero bernama
Weiler, untuk membeli sejumlah sural
sero. Dalam pengiriman kawat terselip suatu kekeliruan, sehingga Weiler menerima sural kawat yang berbunyi menyuruh
menjual sejumlah sural sero tersebut. Weiler
memenuhi perintah tersebut. Ketika ia menuntut pemenuhan dari Oppenheim tentang apa yang diperintahkan dalam surat kawat
tersebut, temyatalah adanya kesalahan
tadi. Oppenheim menuntut juga supaya transaksinya dipenuhi. Dalam pada itu kurs dari surat-surat sero tadi sudah
demikian meningkatnya hingga penyerahan surat-surat sero itu kepada Oppenheim
berarti suatu kerugian yang tidak
sedikit bagi pihak Weiler. Pihak Weiler ini berpendirian bahwa dari isinya surat kawat tadi ia tidak dapat mengetahui adanya
kesalahan tersebut dan karenanya telah
terjadi suatu perintah kepadanya untuk menjual surat-surat sero. Pengadilan (yang menganut ajaran tentang "persesuaian
kehendak") memutuskan bahwa tidak ada terjadi suatu perintah untuk menjual
karena suatu pihak bermaksud menyuruh membeli
sedangkan pihak yang lain mengira menerima suatu perintah untuk menjual. Namun
demikian, Pengadilan membebankan suatu ganti-rugi kepada pihak Oppenheim, karena dialah yang telah mempergunakan
suatu alat penghubung yang begitu
tidak pasti. Akibat-akibat penggunaan alat penghubung yang tidak pasti itu dipikulkan kepada Oppenheim. Menurut ukuran yang
telah kita simpulkan di atas, yang
boleh dikatakan sekarang ini lazim dipakai, adalah seadilnya jika dianggap
bahwa telah dilahirkan suatu perjanjian antara Weiler dan Oppenheim, karena penawaran yang telah diterima oleh Weiler dalam
surat kawat itu tidak menimbulkan dugaan tentang adanya kekeliruan.
Karena suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya
sepakat, maka perjanjian
itu lahir pada detik diterimanya suatu penawaran (offerte). Apabila seorang melakukan suatu penawaran (offerte),
dan penawaran itu diterima oleh orang lain secara tertulis, artinya orang lain
ini menulis surat bahwa ia menerima penawaran itu, pada detik manakah lahirnya perjanjian itu. Apakah
pada detik dikirimnya surat ataukah pada detik diterimanya surat itu oleh pihak yang
melakukan penawaran ?
Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian
harus dianggap dilahirkan pada saat dimana pihak yang melakukan penawaran
(offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah
dapat dianggap sebagai detik
lahirnya sepakat. Bahwasanya mungkin ia tidak membaca surat-surat yang diterimanya dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya. Karena perjanjian sudah dilahirkan maka tak dapat lagi ia ditarik kembali jika
tidak seizin pihak lawan. Saat atau detik lahirnya suatu perjanjian adalah
penting untuk diketahui dan ditetapkan, berhubung
ada kalanya terjadi suatu perobahan Undang-undang atau peraturan, yang mempengaruhi nasibnya perjanjian
tersebut, misalnya pelaksanaannya. Ataupun perlu untuk menetapkan beralihnya "resiko"
dalam jual-beli.
Juga
tempat tinggal (domisili) pihak yang mengadakan penawaran (offerte) itu berlaku
sebagai tempat lahirnya atau ditutupnya perjanjian. Tempat inipun penting untuk
menetapkan hukum manakah yang akan berlaku, yaitu apabila kedua belah pihak berada di tempat yang berlainan
di dalam negeri untuk menetapkan bertempat tinggal di negara yang berlainan
ataupun, apabila mereka adat kebiasaan dari tempat atau daerah manakah yang akan berlaku.
6.
PELAKSANAAN
SUATU PERJANJIAN
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang
berjanji kepada orang lain, atau di mana dua
orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Menilik
macam-macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan itu,
perjanjian-perjanjian dibagi dalam tiga macam, yaitu :
a.
perjanjian
untuk memberikan menyerahkan suatu barang.
b.
perjanjian
untuk berbuat sesuatu.
c.
perjanjian
untuk tidak berbuat sesuatu.
Hal yang
harus dilaksanakan itu dinamakan "prestasi".
Perjanjian dari macam pertama adalah misalnya :
jual-beli, tukar-menukar, menghibahkan atau pemberian, sewa-menyewa, pinjam-pakai.
Perjanjian dari macam kedua
: perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan, perjanjian untuk membuat garansi, dan lainnya.
Perjanjian dari macam yang ketiga adalah misalnya : perjanjian untuk tidak mendirikan tembok,
perjanjian untuk tidak mendirikan
suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan orang lain dan sebagainya.
Suatu persoalan dalam Hukum Perjanjian ialah persoalan,
apakah, jika si berhutang
atau si debitur tidak menepati janjinya, si berpiutang atau kreditur dapat mewujudkan sendiri prestasi yang
dijanjikan itu artinya apakah si berpiutang dapat dikuasakan oleh hakim untuk mewujudkan
atau merealisasikan sendiri apa yang menjadi haknya menurut perjanjian. Jika yang demikian
itu mungkin, maka dikatakan bahwa
perjanjian tadi dapat dieksekusikan secara riil. Meskipun selalu ada kemungkinan untuk mendapat suatu ganti rugi
tetapi apabila seorang mendapat yang
dijanjikan maka itu adalah yang paling memuaskan. Suatu ganti rugi seolah-olah
hanyalah suatu "pengarem-arem "saja. Maka dari itu juga apa yang
dijanjikan itu dinamakan "prestasi primair", sedangkan ganti
rugi dinamakan "prestasi subsidair".
Barang yang subsidair adalah barang yang menjadi ganti rugi suatu barang
lain yang lebih berharga !
Kitab Undang-undang Hukum Perdata memberikan sekedar
petunjuk dalam penjawaban
persoalan tersebut di atas ialah persoalan apakah suatu perjanjian mungkin dieksekusi (dilaksanakan)
secara nil itu. Petunjuk itu kita dapatkan dalam pasal-pasal 1240 dan 1241. Pasal-pasal ini adalah
mengenai perjanjian-perjanjian yang
di atas kita sebutkan sebagai tergolong dalam macam kedua dan macam ketiga, yaitu perjanjian perjanjian untuk berbuat
sesuatu (melakukan suatu perbuatan) dan
perjanjian-perjanjian untuk tidak melakukan sesuatu (tidak melakukan suatu perbuatan). Mengenai perjanjian-perjanjian macam
inilah disebutkan bahwa eksekusi riil
itu mungkin dilaksanakan. Pasal 1240 menyebutkan tentang perjanjian untuk tidak
berbuat sesuatu bahwa si berpiutang atau kreditur adalah berhak menuntut
penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perjanjian dan
bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat tadi atas biaya
si berhutang, dengan tidak mengurangi haknya
untuk menuntut ganti rugi jika ada alasan untuk itu. Dan pasal 1241 menerangkan tentang perjanjian untuk melakukan
sesuatu, bahwa apabila perjanjian tidak
dilaksanakan artinya si berhutang tidak menepati janjinya, maka si berpiutang boleh juga dikuasakan supaya dia sendirilah yang
mengusahakan pelaksanaannya atas
biaya si berhutang. Mengenai perjanjian untuk tidak melakukan suatu perbuatan, memang dalam perjanjian semacam itu, bila
dilanggar, dapat secara mudah hasil dari
perbuatan yang melanggar perjanjian itu dihapuskan atau ditiadakan. Tembok yang didirikan secara melanggar perjanjian, dapat
dirobohkan, perusahaan yang dibuka
atau didirikan melanggar perjanjian, dapat ditutup. Pihak yang berkepentingan (kreditur) tentunya juga dapat meminta kepada
Pengadilan, supaya ditetapkan sejumlah
"uang paksa" untuk mendorong si debitur supaya ia meniadakan lagi apa
yang sudah diperbuat itu. Dan juga ia dapat meminta supaya orang yang melanggar
perjanjian itu dihukum untuk membayar
sejumlah uang sebagai ganti-rugi, tetapi sudah barang tentu tiada
sesuatu yang lebih memuaskan baginya dari pada penghukuman si pelanggar perjanjian itu untuk meniadakan segala apa
yang telah diperbuat itu.
Perjanjian untuk berbuat sesuatu (melakukan suatu
perbuatan) juga secara mudah dapat dijalankan secara riil, asal saja bagi si
berpiutang (kreditur) tidak penting oleh siapa perbuatan itu akan dilakukan,
misalnya membuat sebuah garasi, yang dengan mudah dapat dilakukan oleh orang lain. Kalau yang harus
dibuat itu sebuah lukisan, sudah barang tentu perbuatan itu tidak dapat dilakukan
oleh- orang lain selainnya pelukis yang menjanjikan membuat lukisan itu. Karena itu
raaka perjanjian untuk melakukan suatu perbuatan yang bersifat sangat pribadi,
tidak dapat dilaksanakan secara riil, apabila pihak yang menyanggupi melakukan
perbuatan tersebut tidak menetapi janjinya.
Mengenai
perjanjian dari macam yang pertama, yaitu perjanjian untuk memberikan (menyerahkan) suatu barang, tidak
terdapat sesuatu petunjuk dalam undang-undang.
Mengenai barang yang tak tertentu (artinya barang yang
sudah disetujui atau dipilih), dapat dikatakan bahwa para ahli hukum
yurisprudensi adalah sependapat bahwa eksekusi riil itu dapat dilakukan, misalnya
jual-beli. Suatu barang bergerak yang tertentu, jika mengenai barang yang tak tertentu
maka eksekusi riil tak mungkin dilakukan.
Mengenai barang tak bergerak ada dua pendapat.
Yurisprudensi pada waktu sekarang
dapat dikatakan masih menganut pendirian bahwa eksekusi riil tidak mungkin dilakukan. Pendirian itu
didasarkan pada dua alasan. Pertama : untuk menyerahkan hak milik atas suatu benda tak bergerak
diperlukan suatu akte transport yang merupakan suatu akte bilateral, yang haras
diselenggarakan oleh dua pihak
dan karena itu tidak mungkin diganti dengan suatu fonis atau putusan hakim. Kedua : ada alasan a contrario, yaitu dalam pasal 1171 ayat
3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
ditetapkan (mengenai hipotik), bahwa, barang siapa yang berdasarkan
undang-undang atau perjanjian diwajibkan memberikan hipotek, dapat dipaksa
untuk itu dengan putusan hakim yang mempunyai kekuatan yang sama seolah-olah ia telah memberikan persetujuannya
untuk hipotek itu, dan yang dengan terang akan menunjuk benda-benda atas
mana akan dilakukan pembukuan. Dikatakan,
bahwa oleh karena untuk hipotek ada peraturan yang memungkinkan eksekusi riil terhadap seorang yang wajib
memberikan hipotek tetapi bercindra-janji,
sedangkan dalam halnya seorang yang wajib menyerahkan hak milik atas suatu benda tak bergerak tidak ada aturannya,
bahwa untuk yang terakhir ini tiada suatu
kemungkinan untuk melaksanakan suatu eksekusi riil.
Untuk melaksanakan suatu perjanjian, lebih dahulu harus
ditetapkan secara tegas
dan cermat apa saja isinya perjanjian perjanjian tersebut, atau juga dengan perkataan lain : apa saja hak dan
kewajiban masing-masing pihak. Biasanya orang mengadakan suatu perjanjian
dengan tidak mengatur atau menetapkan secara teliti hak dan kewajiban mereka.
Mereka itu hanya menetapkan hal-hal yang pokok dan penting saja. Dalam jual
beli misalnya hanya ditetapkan tentang barang mana yang dibeli jenisnya, jumlahnya, harganya.
Tidak ditetapkan tentang : tempat penyerahan barang, biaya penghantaran, tempat dan waktu pembayaran,
bagaimana kalau barang musnah di perjalanan dan
lain sebagainya.
Menurut
pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal
yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifatnya
perjanjian diharuskan (diwajibkan)
oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Dengan demikian maka setiap perjanjian diperlengkapi dengan
aturan-aturan yang terdapat dalam undang-undang, yang terdapat pula dalam adat
kebiasaan (di suatu tempat dan di suatu kalangan
tertentu), sedangkan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh
kepatutan(norma-norma kepatutan) harus diindahkan.
Kita
melihat dalam pasal 1339 tersebut, bahwa adat kebiasaan telah ditunjuk sebagai sumber norma-norma yang di
sampingnya undang-undang, ikut menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari kedua belah pihak
dalam suatu perjanjian. Suatu persoalan
disini adalah apabila terdapat suatu adat kebiasaan yang berlainan atau menyimpang dari undang-undang, apakah peraturan undang-undang itu masih berlaku
ataukah ia sudah disingkirkan oleh adat-kebiasaan tersebut. Jawabnya ialah bahwa suatu
pasal(peraturan) undang-undang, meskipun sudah ada suatu adat kebiasaan
yang menyimpang, masih tetap berlaku dan barang siapa pada suatu
hari menunjuk pada peraturan undang-undang tersebut,
harus dibenarkan dan tidak boleh dipersalahkan.
Lain halnya adalah dengan apa
yang lazim dinamakan "standard-clausula". Ini adalah yang
oleh pasal 1347 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimaksudkan dengan "hal-hal yang menurut
kebiasaan diperjanjikan". Menurut
pasal tersebut maka hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan itu dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian,
meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Oleh karena dianggap sebagai diperjanjikan atau sebagai
bagian dari perjanjian sendiri, maka "hal yang menurut kebiasaan selamanya
diperjanjikan itu dapat menyingkirkan
suatu pasal undang-undang yang merupakan hukum pelengkap.
Apabila sesuatu hal tidak diatur dalam undang-undang dan
juga belum ada kebiasaan
tentang hal itu, karena mungkin belum atau tidak begitu banyak dihadapi dalam
praktek, maka harus diciptakan suatu penyelesaian dengan berpedoman pada "kepatutan".
Sebagai kesimpulan dari apa yang dibicarakan di atas
dapat ditetapkan bahwa ada
tiga sumber norma-norma yang ikut mengisi suatu perjanjian, yaitu : Undang-undang, kebiasaan dan kepatutan.
Menurut pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum
P,erdata maka semua perjanjian
itu harus dilaksanakan "dengan itikat baik"(dalam bahasa Belanda "tegoeder trouw", dalam
bahasa Inggris "in good faith", dalam bahasa Perancis "de bonne foi"). Norma ini merupakan salah satu sendi yang
terpenting dari Hukum Perjanjian. Yang
dimaksudkan adalah, bahwa pelaksanaan itu harus berjalan dengan mengindahkan
norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Jadi, yang dimaksud adalah ukuran-ukuran obyektif untuk menilai pelaksanaan
tadi. "Pelaksanaan perjanjian harus berjalan di atas rel yang
benar".
Dalam pasal 1338 (3) itu Hakim diberikan kekuasaan untuk
mengawasi pelaksanaan
suatu perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan atau
keadilan. Ini berarti, bahwa Hakim itu berkuasa untuk. menyimpang dari isi perjanjian menumt hurufnya, manakala
pelaksanaan menurut humf itu akan bertentangan dengan itikad baik. Kalau ayat kesatu dari
pasal 1338 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata dapat kita pandang sebagai suatu syarat atau tuntutan kepastian hukum (yaitu bahwa janji itu
mengikat), maka ayat ketiga ini harus kita pandang sebagai suatu tuntutan keadilan. Memang, selalu
Hukum itu mengejar dua tujuan
: menjamin kepastian (ketertiban) dan memenuhi tuntutan keadilan. Kepastian Hukum menghendaki supaya apa yang
dijanjikan harus dipenuhi (ditepati). Namun, dalam menuntut dipenuhinyajanji itu, janganlah orang
meninggalkan norma-norma keadilan
atau kepatutan. "Berlakulah adil dalam menuntut pemenuhan janji itu"!
Di samping kepastian tentang mengikatnya suatu janji
dalam keadaan normal, ada
suatu perjagaan untuk mencegah pelaksanaan yang akan memperkosa rasa keadilan. Dan kekuasaan mencegah
ekses-ekses ini diletakkan di tangan hakim, yang jika perlu, juga berwenang untuk menghapuskan sama
sekali suatu kewajiban kontraktuil.
Persoalan apakah suatu pelaksanaan perjanjian
bertentangan dengan itikad baik atau tidak, adalah suatu persoalan yuridis atau persoalan
hukum, yang tunduk pada peninjauan oleh Pengadilan
Kasasi (Mahkamah Agung).
Suatu perjanjian terdiri atas serangkaian
perkataan-perkataan. Untuk menetapkan isi sesuatu perjanjian, perlu terlebih dahulu ditetapkan
dengan cermat apa yang dimaksud
oleh para pihak dengan mengucapkan atau menulis perkataan-perkataan tersebut.
Perbuatan ini dinamakan "menafsirkan" perjanjian. Menafsirkan,
sebagai menempatkan "duduknya
perkara" atau menetapkan fakta-fakta, tidak termasuk persoalan yuridis (persoalan hukum)
yang tunduk pada pemeriksaan kasasi, sehingga hanya dapat dipersoalkan sampai di muka Pengadilan
Banding (Pengadilan Tinggi), dan
tidak lagi di muka Pengadilan Kasasi (Mahkamah Agung).
Dalam hal penafsiran perjanjian ini pedoman utama ialah
: kata-kata suatu perjanjian
jelas, maka tidaklah diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran. Contohnya :
Kalau dalam perjanjian ditulis, bahwa satu pihak akan memberikan seekor sapi, maka tidak boleh itu
ditafsirkan sebagai seekor kuda.
Pedoman-pedoman lain yang
penting dalam menafsirkan suatu perjanjian adalah :
a. Jika
kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran,
maka harus dipilihnya menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat
perjanjian itu dari pada memegang teguh arti kata-kata menumt humf.
maka harus dipilihnya menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat
perjanjian itu dari pada memegang teguh arti kata-kata menumt humf.
b. Jika
sesuatu janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilihnya
pengertian yang sedemikian yang memungkinkan janji itu dilaksanakan dari
pada memberikan pengertian yang tidak memungkinkan suatu pelaksanaan.
pengertian yang sedemikian yang memungkinkan janji itu dilaksanakan dari
pada memberikan pengertian yang tidak memungkinkan suatu pelaksanaan.
c. Jika kata-kata dapat diberikan
dua macam pengertian, maka harus dipilih
pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian.
pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian.
d. Apa yang meragukan harus
ditafsirkan menumt apa yang menjadi kebiasaan
di.negeri atau di tempat dimana perjanjian telah diadakan.
di.negeri atau di tempat dimana perjanjian telah diadakan.
e. Semua janji harus diartikan
dalam hubungan satu sama lain, tiap janji harus
ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya.
ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya.
f. Jika ada keragu-raguan, maka
suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kemgian
orang yang telah meminta diperjanjikannya sesuatu hal dan, untuk keuntungan
orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu.
orang yang telah meminta diperjanjikannya sesuatu hal dan, untuk keuntungan
orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu.
7.
WANPRESTASI
Apabila
siberhutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukannya, maka dikatakan bahwa ia
melakukan "wanprestasi". Ia adalah "alpa" atau
"lalai" atau "bercidra-janji". Atau juga ia "melanggar
perjanjian", yaitu apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh
dilakukannya. Perkataan "wanprestasi" berasal
dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi yang bumk.
Wanprestasi seorang debitur
dapat bempa empat macam :
a. tidak
melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
b. melaksanakan
apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
c. melakukan
apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
d. melakukan
sesuatu yang menumt perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Terhadap kelalaian atau kealpaan siberhutang
itu (atau pihak yang wajib melakukan sesuatu), diancamkan beberapa sanksi atau
hukuman.
Hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak bagi debitor
yang lalai tadi ada empat macam, yaitu :
pertama : membayar
keragian yang diderita oleh kreditor atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi.
kedua : pembatalan
perjanjian atau juga dinamakan "pemecahan" perjanjian.
ketiga : peralihan risiko.
keempat : membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di muka hakim.
Karena wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begito
penting, maka harus ditetapkan
lebih dahulu apakah siberhutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya, harus
dibuktikan di muka hakim. Kadang-kadang juga tidak mudah untuk mengatakan bahwa seorang lalai
atau alpa, karena seringkali juga tidak diperjanjikan dengan tepat kapan sesuatu pihak
diwajibkan melakukan prestasi
yang dijanjikan. Dalam jual-beli barang misalnya tidak ditetapkan kapan
barangnya harus diantarkan ke rumah si pembeli, atau kapan si pembeli ini harus
membayar uang harga barang tadi.
Mengenai perjanjian-perjanjian untuk menyerahkan suatu
barang atau untuk melakukan suatu perbuatan, maka jika dalam perjanjian tidak
ditetapkan bahwa siberhutang
akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan, pelaksanaan prestasi harus lebih dahulu ditagih.
Kepada debitor itu harus diperingatkan bahwa kreditor
menghendaki pelaksanaan perjanjian.
Tentang bagaimana caranya memperingatkan seorang debitor
agar supaya jika ia tidak memenuhi teguran itu, dapat dikatakan lalai,
diberikan petonjuk oleh pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang
berbunyi: "Si berhutang adalah lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan
sebuah akte sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri ialah
jika ini menetapkan bahwa si berhutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya
waktu yang ditentukan".
Yang dimaksudkan dengan surat perintah itu ialah suatu
peringatan resmi yaitu peringatan
oleh seorang jurusita Pengadilan. Perkataan "akte sejenis itu" yang
sebenarnya oleh Undang-undang dimaksudkan sebagai suatu peringatan tertolis,
sekarang sudah lazim ditafsirkan sebagai suatu peringatan atau teguran yang
juga boleh dilakukan secara lisan, asal cukup tegas menyatakan desakan si
berpiutang supaya prestasi dilakukan dengan seketika atau dalam waktu yang
singkat. Hanya tentu
saja sebaiknya dilakukan dengan tertulis, dan seyogyanya dengan surat tercalat,
agar supaya nanti di muka hakim tidak mudah dipungkiri oleh
si berhutang.
Apabila seorang debitor sudah diperingatkan atau sudah
dengan tegas ditagih janjinya, maka jika ia tetap tidak melakukan prestasinya,
ia berada dalam keadaan lalai atau alpa dan terhadap dia dapat diperlakukan
sanksi-sanksi yaitu ganti-rugi, pembatalan
perjanjian dan peralihan resiko.
Ganti-rugi sering diperinci dalam tiga unsur : biaya,
rugi dan bunga (dalam bahasa Belanda
"kosten, schaden en interessen").
Yang dimaksud dengan biaya adalah segala pengeluaran
atau perongkosan yang
nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Istilah rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang
kepunyaan kreditur yang diakibatkan karena kelalaian sidebitur. Dan yang dimaksudkan dengan bunga
adalah kerugian yang berupa kehilangan
keuntungan (bahasa Belanda "winstderving"), yang sudah dibayangkan
atau dihitung oleh kreditur.
Code.Civil (dalam bahasa Perancis) memerinci ganti-rugi
itu dalam dua unsur yaitu
"dommages et interest". "Dommages" meliputi apa yang kita
namakan "biaya dan
rugi" sebagaimana dibicarakan di atas, sedangkan "interest"
adalah sama dengan "bunga" dalam
arti kehilangan keuntungan.
, Dalam soal penuntutan ganti-rugi oleh Undang-undang
diberikan ketentuan-ketentuan tentang apa yang dapat dimasukkan dalam
ganti-rugi tersebut. Boleh dikatakan, ketentuan tersebut merapakan pembatasan dari
apa- yang boleh dituntut sebagai
ganti-rugi. Dengan demikian seorang debitur yang alpa atau lalai, masih juga diperlindungi oleh Undang-undang
terhadap kesewenangan si kreditur.
Pasal 1247 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menentukan :
"Siberhutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata
telah, atau sedianya harus
dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena
sesuatu tipu-daya yang dilakukan olehnya".
Pasal 1248 juga menyebutkan :"bahkan jika hal tidak
dipenuhinya perjanjian itu
disebabkan karena tipu-daya siberhutang, penggantian biaya, rugi dan bunga, sekedar mengenai kerugian yang diderita
oleh si berpihutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang
merapakan akibat langsung dari terpenuhinya
perjanjian".
Suatu pembatasan lagi
dalam pembayaran ganti-rugi
terdapat dalam peraturan mengenai "bunga moratoir". Apabila
prestasi itu berupa membayar sejumlah uang, maka
kerugian yang diderita oleh kreditur, apabila pembayaran itu terlambat, adalah berupa
interest, rente atan "bunga". Perkataan "moratoir" berasal
dari perkataan Latin
"mora" yang berarti kealpaan atau kelalaian. Jadi, bunga moratoir
berarti bunga yang harus dibayar (sebagai
hukuman) karena debitur itu alpa atau lalai membayar hutangnya. Oleh suatu undang-undang yang dimuat
dalam Lembaran Negara
tahun 1848 NO. 22 bunga tersebut ditetapkan 6 (enam) prosen setahun, dan menurut pasal 1250 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, selainnya bahwa bunga yang dapat dituntut itu tidak boleh melebihi prosenan
yang ditetapkan dalam undang-undang
tersebut, juga ditentukan bahwa bunga tersebut baru dihitung sejak dituntutnya kepada Pengadilan, jadi sejak
dimasukkannya surat gugat.
Mengenai pembatalan perjanjian atau juga dinamakan
"pemecahan" perjanjian, sebagai sanksi kedua atas kelalaian seorang debitur,
mungkin ada orang yang tidak dapat melihat sifatnya pembatalan atau pemecahan
tersebut sebagai suatu hukuman. Dikiranya sidebitur malahan merasa lega dengan
dibatalkannya perjanjian karena ia
dibebaskan dari kewajibannya melakukan prestasi. Memang adakalanya pembatalan
itu dirasakan sebagai suatu pembebasan, tetapi betapa beratnya pembatalan itu dirasakan dapat dibayangkan jika
kita memikirkan nasibnya seorang penjahit
yang mendapat pesanan untuk membikin pakaian seragam untuk satu batalyon
prajurit, kalau kontraknya dibatalkan pada waktu ia sudah memotongi bahan
pakaian beratus-ratus meter.
Pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua belah
pihak kembali pada keadaan
sebelum perjanjian diadakan. Kalau sampai pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun
barang, maka itu harus dikembalikan. Masalah pembatalan perjanjian karena kelalaian atau
wanprestasi dari pihak debitur ini, dalam Kitab undang-undang Hukum Perdata
menemukan pengaturannya dalam pasal 1266, ialah pasal yang terdapat dalam bagian
kelima dari Bab I dari Buku m, ialah suatu bagian yang mengatur tentang "perikatan
bersyarat".
Kelalaian
atau wanprestasi tidak secara otomatis membuat batal atau membatalkan suatu perjanjian seperti halnya
dengan suatu "syarat batal". Dalam pasal 1266 juga terdapat lanjutan sebagai berikut: "Syarat batal
dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang bertimbal balik
manakala salah satu pihak tidak memenuhi keajibannya. Dalam hal demikian
perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi
pembatalan harus dimintakan kepada hakim.
Dalam halnya perjanjian dibatalakan, maka kedua belah
pihak dibawa dalam keadaan
sebelum perjanjian diadakan. Dikatakan bahwa pembatalan itu berlaku surut sampai pada detik dilahirkannya
perjanjian. Apa yang sudah terlanjur diterima oleh
satu pihak harus dikembalikan kepada pihak yang lainnya.
Peralihan risiko sebagai sanksi ketiga atas kelalaian
seorang debitur disebutkan dalam
pasal 1237 ay at 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi
suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang
yang menjadi obyek perjanjian.
Menurut pasal 1460 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
maka risiko dalam jual-beli
barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum
diserahkan. Kalau si penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka
kelalaian ini diancam dengan
mengalihkan risiko tadi dari si pembeli kepada penjual.
Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi
keempat bagi seorang debitur
yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan
membayar biaya perkara (pasal 181 ayat 1 H.I.R.). Seorang debitur yang lalai tentu akan
dikalahkan kalau sampai terjadi suatu perkara di
muka hakim.
Menurut pasal 1267, pihak kreditur dapat menuntut
terhadap si debitur yang lalai
itu : pemenuhan perjanjian atau pembatalan disertai penggantian biaya, rugi dan bunga (disingkat
"ganti-rugi"). Dengan sendirinya ia juga dapat menentukan pemenuhan perjanjian disertai ganti-rugi.
Sebagai kesimpulan dapat ditetapkan bahwa kreditur dapat
memilih antara tuntutan-tuntutan sebagai
berikut :
a.
pemenuhan
perjanjian
b.
pemenuhan
perjanjian disertai ganti-rugi
c.
ganti-rugi
saja
d.
pembatalan
perjanjian
e.
pembatalan
disertai ganti-rugi.
8.
CARA-CARA
HAPUSNYA SUATU PERIKATAN
Pasal 1381
Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan.
Cara-cara tersebut :
a.
pembayaran
b.
penawaran pembayaran tunai diikuti dengan
penyimpanan penitipan
c.
pembaharuan hutang
d.
perjumpaan hutang atau kompensasi
e.
percampuran hutang
a.
pembebasan hutang
b.
musnahnya barang yang terhutang
c.
kebatalan/pembatalan
d.
berlakunya
suatu syarat batal dan
e.
lewatnya
waktu.
Cara-cara hapusnya perikatan itu akan
dibicarakan satu persatu di bawah ini.
1)
PEMBAYARAN
Nama "pembayaran" dimaksudkan setiap pemenuhan
perjanjian secara suka rela.
Dalam arti yang sangat luas ini, tidak saja pihak pembeli membayar uang harga pembelian, tetapi pihak
penjualpun dikatakan "membayar" jika ia menyerahkan atau "melever" barang yang
dijualnya. Yang wajib membayar suatu utang bukan saja si berhutang (debitur) tetapi juga seorang kawan
berhutang dan seorang penanggung
hutang ("borg"). Menurut pasal 1332 Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa suatu perikatan dapat
dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan asal
saja orang pihak ketiga bertindak atas nama dan untuk melunasi hutangnya si berhutang, atau jika ia
bertindak atas namanya sendiri, asal
ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang.
Pembayaran harus dilakukan kepada si berpiutang
(kreditur) atau kepada seorang yang dikuasakan olehnya atau juga kepada seorang yang dikuasakan hakim atau oleh
Undang-undang untuk menerima pembayaran-pembayaran bagi si berpiutang. Pembayaran
yang dilakukan kepada seorang yang tidak berkuasa menerima bagi si berpiutang,
adalah sah, sekedar si berpiutang telah menyetujuinya atau nyata-nyata telah mendapat mafaat karenanya.
Si debitur tidak boleh memaksa
krediturnya untuk menerima pembayaran hutangnya sebagian demi
sebagian, meskipun hutang itu dapat dibagi-bagi. Mengenai tempatnya pembayaran,
pasal 1393 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menerangkan sebagai berikut :
"Pembayaran harus dilakukan di tempat yang
ditetapkan dalam perjanjian, jika dalam perjanjian tidak ditetapkan
suatu tempat, maka pembayaran yang
mengenai suatu
barang tertentu, harus dilakukan di tempat di mana barang itu berada sewaktu perjanjian dibuat.
Di luar kedua hal tersebut, pembayaran harus dilakukan
di tempat tinggal si berpiutang,
selama orang itu terus-menerus berdiam dalam keresidenan di mana ia berdiam sewaktu dibuatnya perjanjian,
dan di dalam hal-hal lainnya di tempat tinggalnya
si berhutang".
Ketentuan dalam ayat pertama yang menunjuk pada tempat
di mana barang berada
sewaktu perjanjian ditutup, adalah sama dengan ketentuan dalam pasal 1477 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata dalam jual beli, di mana juga tempat tersebut ditunjuk sebagai tempat di mana barang
yang dijual harus diserahkan. Memang sebagai mana sudah diterangkan "pembayaran"
dalam arti yang luas juga ditujukan pada pemenuhan prestasi oleh si penjual
yang terdiri atas penyerahan barang yang telah
diperjual belikan.
Ketentuan dalam ayat kedua , berlaku juga dalam
pembayaran-pembayaran di mana yang dibayarkan itu bukan suatu barang tertentu,
jadi uang atau barang yang dapat dihabiskan. teristimewa ketentuan tersebut
adalah penting untuk pembayaran yang berupa uang. Dengan demikian maka hutang-hutang
yang berupa uang pada azasnya
harus dibayar di tempat tinggal kreditur, dengan perkataan lain pembayaran itu harus dihantarkan. Hutang uang yang
menurut undang-undang harus dipungut di
tempat tinggalnya debitur hanyalah hutang wesel.
Sesuai dengan ketentuan tersebut di atas maka oleh pasal
1395 ditetapkan bahwa
biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelengarakan pembayaran harus dipikul oleh debitur.
Suatu masalah yang muncul dalam soal pembayaran, adalah
masalah subrogasi atau
penggantian hak-hak si berpiutang (kreditur) oleh seorang ketiga yang membayar kepada si berpiutang itu. Dalam subrogasi atau penggantian
ini, seorang ketiga yang membayar suatu
utang menggantikan kedudukan kreditur, terhadap si debitur. Subrogasi atau penggantian tersebut di atas dapat
terjadi baik dengan perjanjian, baik demi undang-undang.
Dari apa yang telah dibicarakan di atas, dapat dilihat
bahwa jika seorang membayar hutangnya orang lain, maka pada umumnya tidak
terjadi subrogasi, artinya
: pada umumnya orang yang membayar itu tidak menggantikan kreditur. Hanya apabila itu dijanjikan atau
dalam hal-hal di mana itu ditentukan oleh undang-undang,
maka barulah ada penggantian.
2)
PENAWARAN PEMBAYARAN TUNAI DllKUTl PENYIMPANAN ATAU PENITIPAN
Ini adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan
apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran. Caranya sebagai berikut :
barang atau uang yang akan
dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang notaris atau seorang juru
sita pengadilan. Notaris atau juru sita membuat suatu perincian dari
barang-barang atau
uang yang akan dibayarkan itu dan pergilah ia ke rumah atau tempat tinggal kreditur, kepada siapa ia
memberitahukan bahwa ia atas perintah debitor datang untuk membayar hutangnya debitor
tersebut, pembayaran mana akan dilakukan dengan menyerahkan (membayarkan)
barang atau uang yang telah diperinci itu. Notaris atau juru sita tadi sudah menyediakan suatu
proses verbal. Apabila kreditur suka menerima barang atau uang yang ditawarkan itu, maka
selesailah perkara pembayaran
itu. Apabila kreditur menolak yang biasanya memang sudah dapat diduga maka Notaris/juru sita akan
mempersilahkan kreditur itu menanda-tangani proses verbal tersebut dan jika
kreditur tidak suka menaruh tanda-tangannya maka hal itu akan dicatat oleh notaris/juru sita di atas
surat proses verbal tersebut. Dengan demikian terdapatlah suatu bukti yang resmi bahwa si
berpiutang telah menolak pembayaran.
Langkah yang berikutnya ialah : si berhutang (debitor) di muka pengadilan negeri dengan permohonan
kepada pengadilan itu supaya pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran yang
telah dilakukan itu. Setelah penawaran pembayaran itu disahkan maka barang atau uang yang akan
dibayarkan itu, disimpankan
atau dititipkan kepada panitera Pengadilan Negeri dengan demikian hapuslah hutang-pihutang itu. Barang
atau uang tersebut di atas berada dalam simpanan di kepaniteraan Pengadilan Negeri atas
tangggungan atau resiko si berpiutang. Si berhutang sudah bebas dari hutangnya.
Segala biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan penawaran pembayaran tonai dan
penyimpanan, harus dipikul oleh si berhutang.
3)
PEMBAHARUAN HUTANG ATAU NOVASI
Menurut pasal 1413 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada
tiga macam jalan untuk melaksanakan
suatu pembaharuan hutang atau novasi itu, yaitu :
a. apabila seorang yang
berhutang membuat suatu perikatan hutang baru guna orang yang akan menghutangkan kepadanya, yang
menggantikan hutang yang lama yang dihapuskan karenanya.
b. apabila
seorang berhutang baru ditonjuk untuk menggantikan orang berhutang lama, yang oleh si berpihutang dibebaskan dari
perikatannya.
c. apabila,
sebagai akibat dari suatu perjanjian baru seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang lama,
terhadap siapa si berhutang dibebaskan dari
perikatannya.
Novasi yang disebutkan pada (a), dinamakan novasi
obyektif, karena yang diperbaharui
adalah obyeknya perjanjian, sedangkan yang disebutkan pada (b) dan (c) dinamakan novasi subyektif, karena
yang diperbaharui di situ adalah subyek-subyeknya atau orang-orangnya dalam perjanjian. Jika yang
diganti debiturnya (b) maka
novasi itu dinamakan subyektif pasif, sedangkan apabila yang diganti itu kreditur (c) novasi dinamakan subyektif aktif.
4)
PERJUMPAAN HUTANG ATAU KOMPENSASI
Ini adalah suatu cara penghapusan hutang dengan jalan
memperjumpakan atau memperhitungkan
hutan-pihutang secara bertimbal balik antara kreditur dan debitor.
Jika dua orang saling berhutang satu sama lain maka
terjadilah antara mereka satu
perjumpaan dengan mana antara kedua orang tersebut dihapuskan, demikianlah diterangkan oleh pasal 1424 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata. Pasal tersebut selanjutnya mengatakan bahwa perjumpaan itu terjadi demi
hukum, bahkan dengan setidak
tahunya orang-orang yang bersangkutan dan kedua hutang itu yang satu menghapuskan yang lain dan sebaliknya
pada saat hutang-hutang itu bersama-sama ada, bertimbal balik untuk suatu jumlah yang sama. Agar
supaya dua hutang dapat diperjumpakan,
maka perlulah bahwa dua hutang itu seketika dapat ditetapkan besamya atau jumlahnya dan seketika dapat ditagih.
Perjumpaan terjadi dengan tidak dibedakan dari sumber
apa hutang-pihutang antara kedua belah pihak
itu telah dilahirkan, terkecuali:
a.
apabila
dituntutnya pengembalian suatu barang yang secara berlawanan dengan hukum dirampas dari pemiliknya.
b.
apabila dituntutnya
pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.
c.
terdapat
sesuatu hutang yang bersumber kepada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita
(alimentasi). Demikianlah dapat dibaca dari pasal 1429 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Maksudnya adalah terang jika kita memperkenankan perjumpaan dalam hal-hal yang
disebutkan di atas, maka
itu
akan berarti mengesahkan seorang yang main hakim sendiri atas ketentuan hukum. Maka dari itu pasal tersebut di
atas mengadakan larangan kompensasi dalam
hal-hal yang disebutkan itu.
5)
PERCAMPURAN HUTANG
Apabila kedudukan sebagai orang berpihutang (kreditur)
dan orang yang berhutang
(debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran hutang dengan mana utang
piutang itu dihapuskan. Misalnya, si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh
kreditumya atau si debitur kawin dengan kreditumya dalam suatu persatuan harta
kawin. Hapusnya hutang-pihutang dalam hal percampuran ini, adalah betul-betul
"demi hukum" dalam arti otomatis.
Percampuran hutang yang terjadi pada dirinya si berhutang
utama berlaku juga untuk
keuntungan para penanggung hutangnya (borg) sebaliknya percampuran yang terjadi pada seorang penangung hutang
(borg) tidak sekali-kali mengakibatkan hapusnya
hutang pokok.
6)
PEMBEBASAN HUTANG
Teranglah, bahwa apabila si berpihutang dengan tegas
menyatakan tidak menghendaki
lagi prestasi dari si berhutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka
perikatan - yaitu hubungan hutang-piutang -hapus, perikatan ini hapus karena pembebasan. Pembebasan
sesuatu hutang tidak boleh dipersangkakan,
tetapi harus dibuktikan.
Pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara suka rela
oleh si berpihutang kepada
si berhutang, merupakan suatu bukti tentang pembebasan hutangnya, bahkan terhadap orang-orang lain yang turut
berhutang secara tanggung menanggung. Pengembalian barang yang diberikan dalam gadai atau
sebagai tanggungan tidaklah cukup dijadikan persaingkaan tentang dibebaskannya
hutang. Ini sebetulnya tidak perlu diterangkan, sebab perjanjian gadai (pand) adalah
suatu perjanjian accessoir yang artinya suatu buntut belaka dari perjanjiannya
pokok, yaitu perjanjian pinjam uang.
7)
MUSNAHNYA
BARANG YANG TERHUTANG
Jika barang tertentu yang menjadi obyek dari perjanjian
musnah, tak lagi dapat diperdagangkan,
atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu
masih ada, maka hapuslah perikatannya asal barang tadi musnah atau hilang diluar kesalahan si berhutang
dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan juga meskipun debitur itu lalai
menyerahkan barang itu (misalnya terlambat), iapun akan bebas dari perikatan apabila ia
dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian diluar kekuasaannya
dan bahwa barang tersebut toh juga akan menemui nasib yang sama meskipun sudah
berada di tangan kreditur.
Apabila si berhutang, dengan terjadinya
peristiwa-peristiwa seperti di atas telah dibebaskan dari perikatannya terhadap kreditumya, maka
ia diwajibkan menyerahkan kepada kreditur itu segala hak yang mungkin dapat
dilakukannya terhadap orang-orang
pihak ketiga sebagai pemilik barang yang telah hapus atau hilang itu.
8)
KEBATALAN/PEMBATALAN
Meskipun di sini disebutkan kebatalan dan pembatalan,
tetapi yang benar adalah "pembatalan"
saja, dan memang kalau kita melihat apa yang diatur oleh pasal 1446 dan selanjutnya dari Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, temyatalah bahwa ketentuan-ketentuan disitu kesemuanya mengenai
"pembatalan". Kalau suatu perjanjian batal demi hukum maka tidak ada suatu
perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada suatu
perikatan hukum yang dilahirkan karenanya,
dan barang sesuatu yang tidak ada tentu saja tidak hapus.
Yang diatur oleh pasal 1446 dan selanjutnya adalah
pembatalan perjanjian-perjanjian yang dapat
dimintakan pembatalan (vernietigbaar atau voidable) sebagaimana yang sudah kita lihat pada waktu kita membicarakan tentang
syarat-syarat untuk suatu perjanjian yang sah (pasal 1320).
Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan syarat
subyektifnya itu dapat dilakukan
dengan dua cara : pertama, secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang demikian itu dimuka hakim. Kedua,
secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat di muka hakim untuk memenuhi perjanjian dan
disitulah baru memajukan tentang kekurangannya
perjanjian itu.
9)
BERLAKUNYA SUATU SYARAT-BATAL
Perikatan bersyarat itu adalah suatu perikatan yang
nasibnya digantungkan pada
suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi,
baik
secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa tadi, atau secara membatalkan perikatan menurut
terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.
Dalam hal yang pertama, perikatan dilahirkan hanya
apabila peristiwa yang termaksud itu terjadi. Dalam hal yang kedua suatu
perikatan yang sudah dilahirkan justru akan berakhir dibatalkan apabila peristiwa yang
termaksud itu terjadi. Perikatan semacam yang terakhir itu dinamakan suatu perikatan
dengan suatu syarat batal.
Dalam hukum perjanjian pada azasnya syarat batal
selamanya berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal
adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjiannya dan membawa segala
sesuatu kembali kepada keadaan
semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian, demikianlah pasal 1265
Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dengan demikian maka syarat batal itu
mewajibkan si berhutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi.
10) LEWATNYA WAKTU
Menurut pasal 1946 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
yang dinamakan “daluwarsa" atau "lewat waktu" ialah suatu upaya
untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya
suatu waktu tertentu dan atas
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan
daluwarsa "acquisitip" sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan
(atau suatu tuntutan) dinamakan daluwarsa "extinctip". Daluwarsa yang pertama tadi
sebaiknya dibicarakan berhubungan dengan hukum benda. Daluwarsa dari macam yang kedua dapat
sekedarnya dibicarakan di sini meskipun masalah daluwarsa itu suatu masalah yang
memeriukan pembicaraan tersendiri.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata masalah daluwarsa itu diatur dala Buku IV bersama-sama
dengan soal pembuktian.
Menurut pasal 1967 maka segala tuntutan hukum, baik yang
bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa
dengan lewatnya waktu 30
tahun, sedangkan siapa yang rnenunjukkan akan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu atas hak,
lagi pula tak dapatlah dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang
buruk.
Dengan lewatnya waktu tersebut di atas hapuslah setiap
perikatan hukum dan tinggallah
pada suatu "perikatan bebas" (natuurlijke verbintenis) artinya kalau
dibayar boleh tetapi tidak dapat dituntut
dimuka hakim. Debitur jika ditagih hutangnya atau dituntut di muka pengadilan dapat memajukan tangkisan
(eksepsi) tentang kedaluwarsaannya pihutang
dan dengan demikian mengelakkan atau menangkis setiap tuntutan.
Comments
Post a Comment