Antropologi Hukum


Antropologi Hukum adalah cabang Antropologi Budaya yang memusatkan perhatian pada studi hukum sebagai aspek kebudayaan dengan mempelajari nilai-nilai, aturan-aturan dan institusi-institusi hukum pada masyarakat yang masih “sederhana.”

Disiplin ini dapat dipandang sebagai pengembangan dari apa yang dahulu disebut Etnologi Hukum. Pada masa sekarang di Indonesia studi Antropologi Hukum ini penting untuk penelitian Hukum Adat dan perkembangannya, serta kemungkinan pemanfaatannya dalam pembangunan tata hukum nasional [1]

Antropologi Budaya mempelajari kebudyaan manusia seperti yang telah terwujud dalam berbagai masyarakat manusia. Dalam tradisi ilmu ini sebagian besar perhatian terpusat pada masyarakat-masyarakat yang jumlah warganya tidak terlalu banyak dan masih sederhana sifatnya, pada masyarakat yang dalam kepustakaan sering disebut bersifat “primitif”, atau pada masyarakat “tribal” yang kita terjemahkan sebagai masyarakat kesukuan.

Antropologi Hukum hanyalah salah satu dari bidang pengetahuan yang mengkhususkan pada aspek yang melihat  “bagaimana berfungsinya hukum itu dalam upaya mempertahankan nilai-nilai budaya yang dianut dalam kehidupan bersama dari manusia’.

Hukum dalam hubungannya dengan kebudayaan suatu bangsa dalam perkembangannya dipelajari secara empiris dalam Antropologi Hukum. Di sini hukum dipandang sebagai berkaitan dengan nilai-nilai budaya, norma-norma sosial dan lembaga-lembaga sosial, secara khusus dalam masyarakat-masyarakat sederhana atau primitif.[2]

Bahwa perhatian antropologi budaya secara kategoris tidak hanya terbatas pada masyarakat bersahaja; karena menurut aspirasinya ilmu ini menaruh perhatian terhadap kebudayaan manusia yang terwujud di semua jenis masyarakat.  Perhatian demikian itu telah memberi ciri khas pada ilmu ini yaitu mengembangkan suatu cara penglihatan yang tidak memisahkan berbagi segi dari kebudayaan manusia melainkan meninjau secara menyeluruh, yaitu penglihatan holistik mengenai hukum (meninjau kebudayaan sebagai suatu kesatuan di mana bagian-bagiannya mewujudkan hubungan yang kait-mengkait atau terintegrasi). Jadi hukum, misalnya, tidaklah ditinjau sevcara tersendiri, tetapi dihubungkan dengan kebudayaan sebagai keseluruhan.
Sifat pengetahuan yang diperoleh tentunya agak umum, yang dalam perkembangan selanjutnya timbul kebutuhan akan berbagai cabang pengkhususan dalam ilmu Antropologi Budaya ini [3].
Antropologi Hukum adalah salah satu cabang/spesialisasi dari ilmu Antropologi Budaya.

Dalam membanding-bandingkan kebudayaan-kebudayaan manusia, maka salah satu hal yang menarik perhatian untuk difahami secara mendalam dalam konteks yang universal adalah: norma-norma yang selalu terumus dalam setiap bentuk kehidupan bersama dari manusia sebagai pedoman, yang diajarkan kepada para warganya supaya diperhatikan dalam berperilaku.
Dari sinilah mulai berkembang:
-                      Bidang-bidang perhatian baru yang menghasilkan berbagai karya tulis dengan keterangan-keterangan tentang berfungsinya hukum dalam berbagai kebudayaan (baik dalam kebudayaan yang masih bersahaja dan dalam kebudayaan yang sudah kompleks.
-                      Berbagai kerangka teori yang juga dirumuskan dengan menunjukkan kepekaan terhadap tinjuan lintas budaya yang berarti bahwa kesimpulan-kesimpulan mengenai hukum dan definisi hukum benar-benar diuji, apakah dapat berlaku untuk aneka kebudayaan manusia.

Oleh karenanya, salah satu pokok yang mendapatkan sorotan dalam antropologi hukum adalah, bagaimana mendefinisikan hukum supaya gejala-gejala yang beraneka ragam dan fungsi intinya sama dengan apa yang secara hakiki merupakan fungsi hukum, dan terdapat dalam aneka  budaya manusia, dapat tertampung.


·         PROSES PELEMBAGAAN TERHADAP NORMA SOSIAL.
Dengan menjadi pedoman berperilaku yang umum diikuti dan menjadi bagian dari pranata/lembaga sosial, norma-norma mengalami proses pelembagaan pertama, dan ..... bila norma tersebut juga menjadi norma hukum atau norma yang dilindungi oleh hukum, maka terhadap norma sosial telah berlangsung proses pelembagaan berganda.

Berdasarkan proses pelembagaan pertama terhadap pelanggaran norma tidak dapat dikenakan sanksi (baik oleh petugas hukum informal atau formal). Akan tetapi bila norma itu telah mengalami proses pelembagaan berganda, maka pelanggarannya dapat memperoleh sanksi hukum.

Karenanya isi dari aturan-aturan hukum pada hakekatnya adalah norma sosial yang telah melembaga atau memang telah diterima sebagai keharusan, wajar diikuti sebagai pedoman yang berlaku.

Dengan demikian, masyarakat akan tercermin dalam hukum dan hukum yang sedemikian itulah yang seharusnya diwujudkan.
Namun, selalu akan terdapat kesenjangan di antara masyarakat dan hukum dalam arti tidak akan pernah tercapai situasi di mana kebiasan-kebiasaan yang diikuti oleh suatu masyarakat  seluruhnya dilindungi oleh hukum.
·         POSTULAT YANG MENDASARI HUKUM
Postulat, Hoebel, mengartikanya:
Hal-hal yang oleh para warga suatu masyarakat dianggap baik dan karenanya harus dikejar dan hal-hal yang dianggap buruk dan karenanya harus dielakkan. 

·         HUKUM, BENTUK ATRIBUT dan PENERAPANNYA.[4]
Bahwa hukum pada umumnya dianggap sebagai unsur kebudayaan yang telah maju. Namun ini tidak berarti bahwa hukum hanya ditemukan hanya di masyarakat yang telah maju.

Antropologi hukum menafikan pra-anggapan yang bersifat etnosentris, yaitu anggapan bahwa segala sesuatu diukur menurut ukuran yang berlaku dalam kebudayaan sendiri (tertentu).
Karenanya, antropologi hukum tidak membatasi pandangannya pada kebudayaan-kebudayaan tertentu. Masyarakat manusia dipelajari secara perbandingan.

Berlainan dengan cabang-cabang ilmu sosial lainnya, dalam antropologi hukum, masyarakat dipelajari sebagai suatu keseluruhan yang utuh dimana bagian-bagiannya saling berkaitan.Antropologi hukum menafikan pra-anggapan yang bersifat etnosentris, yaitu anggapan bahwa segala sesuatu diukur menurut ukuran yang berlaku dalam kebudayaan sendiri (tertentu).

Dalam antropologi modern tidak lagi dipusatkan pada ‘kekuatan-kekuatan dan hal-hal yang “superorganis” dan meremehkan peranan individu. Keduanya sama-sama diperhatikan.

Masyarakat tidak lagi dipandang sebagai keseimbangan yang mengalami gangguan bila mengalami penyimpangan. Masyarakat sebaliknya dipandang sebagi dinamis, sehingga peranan sosial dari hukum tidaklah terbatas pada mem-pertahankan status quo.

Antropologi hukum termasuk ilmu mengenai hukum, jadi bersifat empiris. Konsekuensinya adalah teori yang dikemukakan harus di dukungn oleh semua fakta yang relevan atau setidaknya ‘wakil’ yang representatip dari fakta yang relevan.  Jadi, gejala yang dapat ditanggapi melalui pancaindra).
·         NILAI BUDAYA BARU YANG TERBENTUK DARI PERATURAN-PERATURAN.
(Khususnya di negara-negara yang memiliki hukum/perundang-undangan).
Melalui peraturan-peraturan warga masyarakat hendak diarahkan supaya menerima cara hidup di mana nilai-nilai baru itu tercermin dalam perilaku.
Perubahan dalam nilai budaya yang dianut oleh masyarakat dapat juga terumus melalui keputusan-keputusan para petugas formal maupun informal yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa dalam masya-rakat (kepala adat, keputusan-keputusan hakim, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung  yang merumuskan telah terjadinya perubahan nilai). Contohnya a.l. tentang hak waris anak perempuan dalam masyarakat patrilinial.
Jadi, di samping pelestarian nilai-nilai budaya keputusan-keputusan hukum dapat juga merupakan sarana untuk merumuskan perubahan nilai.




[1] T.O. Ihromi, BIANGLALA HUKUM, dikutip oleh B. Arief Sidharta dalam Refleksi Tentang STRUKTUR ILMU HUKUM, hlm. 131.
[2] FILSAFAT HUKUM, DR. Theo Huijbers,  Penerbit Kanisius,  1995, hlm. 115.
[3] ANTROPOLOG DAN HUKUM, Disunting oleh T.O. Ihromi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2000, hlm 1-2.
[4] Leopold Pospisil, dari ANTROPOLOGI DAN HUKUM, T.O. Ihromi, Yayasan Obor,  Jakarta 2000, hlm 65.

Comments